Tampilkan postingan dengan label aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aceh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Desember 2018

Bencana Semakin Rentan Terjadi. Baca ini !! Kenali Bencana Untuk Mengantisipasi


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam. Pengetahuan lokal tersebut lahir sebagai wujud dari adaptasi masyarakat dengan perubahan lingkungannya. Salah satunya adalah cerita tentang pengetahuan lokal masyarakat Kepulauan Simeulue, yang disebut Smong. Pulau Simeulue yang terletak di pantai Barat Provinsi Aceh ini menyimpan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tsunami.
Pengetahuan lokal masyarakat Simeulue tentang Smong mengalami pasang surut. Pengetahuan ini redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai tsunami terdahsyat pada 2004.

Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami pada 2004. Di pulau ini, hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut. Pengetahuan itu yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya.

Adapun nenek moyang orang Palu menyebut gempa bumi sebagai Linu, tsunami dinamakan Bombatalu. Sedangkan likuifaksi mereka sebut sebagai Nalodo yang berarti amblas ditelan bumi.

Masyarakat di daratan Singkil, menyebut tsunami dengan sebutan Gloro, sedangkan masyarakat yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar menyebut tsunami sebagai Ie-Beuna.

Smong yang Menggerakkan


Kisah Smong diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue, bahkan jauh sebelum terjadinya tsunami 1907. Gempa bumi pada 1907 dengan Magnitudo 7,6 diikuti tsunami merupakan sejarah kelam kebencanaan dalam kehidupan masyarakat Simeulue.

Banyak yang menceritakan bahwa lebih dari setengah penduduk Simeulue tewas akibat peristiwa tersebut (tidak ada catatan pasti berapa jumlah penduduk Simeulue saat itu). Peristiwa kelam itu akhirnya dituangkan ke dalam kisah Smong yang dituturkan secara lisan. Tetua masyarakat Simeulue meyakini bahwa peristiwa tersebut dapat berulang di kemudian hari.

Meski Smong telah dikenal jauh sebelum peristiwa tsunami 1907, Smong tersebut tidak mampu menyelamatkan mereka dari amukan gelombang dahsyat yang terjadi lebih dari seabad lalu. Perkembangan Smong mulai tertanam dan terkuatkan setelah kejadian tersebut.

Kata Smong berasal dari bahasa Devayan, artinya hempasan gelombang. Penutur bahasa Devayan pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di bagian selatan Pulau Simeulue. Sementara itu terdapat bahasa daerah lain yaitu bahasa Sigulai yang dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di bagian utara pulau tersebut.

Sedangkan masyarakat yang tinggal di Desa Langi dan Lafakha, yang terletak di barat daya Pulau Simeulue, menggunakan bahasa Lekon. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke tiga penutur bahasa daerah tersebut dalam penyebutan Smong. 

Kisah dalam Nafi-nafi

Kisah Smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Nafi-nafi adalah salah satu budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita (story telling) yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu.

Cerita ini mengandung pembelajaran untuk disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak pada waktu-waktu tertentu seperti setelah memanen cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas salat Magrib dan membaca Al-Quran. Kisah yang terdapat di dalam Nafi-nafi sangat bervariasi, dan salah satunya adalah kisah tentang Smong.

Smong di dalam Nafi-nafi berkisah tentang kejadian tsunami pada 1907. Kisah ini menceritakan runut kejadian tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat. 

Salah satu contoh kisah Smong dalam Nafi-nafi sebagai berikut:


“Ini adalah kisah penuh hikmah, pada zaman dahulu kala, tahun tujuh. Para kakek kalian yang mengalaminya. Mereka menceritakan kisah ini, agar menjadi pengalaman hidup. Waktu itu hari Jum'at, masih termasuk pagi hari. Tiba tiba terjadi gempa bumi. Sangking kuatnya, orang-orang tidak dapat berdiri dan setelahnya air laut surut, ikan-ikan menggelepar di pantai sehingga menarik sebagian orang dan mengambilnya.

Tidak lama kemudian tampak gelombang besar dari tengah lautan, menuju ke daratan. Orang tua berteriak ‘Smong! Smong! Smong!’ Namun, banyak orang tidak sempat menyelamatkan diri ke atas gunung. Setelah Smong reda, orang-orang mencoba kembali ke desa dan menemukan banyak penduduk yang meninggal. Banyak korban tersangkut di atas pohon dan bahkan dijumpai pula korban yang terdampar di kaki bukit atau gunung”.

Kisah Smong juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu perlu membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara.

Kisah Smong dalam Nafi-nafi tersebut mengandung pula anjuran untuk mendiseminasikannya kepada generasi selanjutnya.

Penguatan pengetahuan lokal

Pascatsunami 2004, penguatan Smong dilakukan melalui saluran tradisional masyarakat Simeulue lainnya yaitu Nandong dan berbagai upaya lainnya. Nandong adalah seni tradisional masyarakat Kepulauan Simeulue berupa nyanyian. Namun kebanyakan upaya tersebut belum tersistematis dan berkelanjutan.

Penguatan ini lebih didominasi oleh inisiasi dari pihak luar seperti LSM dan lembaga donor dibandingkan dengan kebijakan yang berkelanjutan dari pemerintah daerah.

Pada umumnya inisiasi tersebut terlihat massif pada masa pemulihan dan semakin menurun intensitas dan keberlanjutannya seiring berjalannya waktu. Padahal, gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan pun. Artinya, perlu dipastikan bahwa penguatan harus berkelanjutan sepanjang waktu karena generasi terus berganti. Generasi tua meninggal digantikan oleh generasi yang baru lahir, yang belum pernah menyaksikan peristiwa tsunami secara langsung.

Memperkuat kapasitas pengelolaan kebencanaan yang lebih komprehensif tetap harus dilakukan tanpa melupakan pengetahuan lokal yang telah ada di masyarakat itu sendiri. Diperlukan upaya pencatatan pengetahuan lokal ini dengan mendokumentasikannya sehingga dapat lebih mudah diakses, berkelanjutan, dan bahkan perlu pula diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan.

sumber : theconversation
Share:

Rabu, 26 Desember 2018

Adik Abang ini Selamat Musibah Gempa dan Smong Aceh, Karena Shalat Dhuha

 
Nur Saadi dan Sang Abang, Lutfi Ibrahim
SETIAP orang Aceh pasti memiliki kisah tersendiri saat terjadinya musibah Gempa dan Smong (Tsunami dalam bahasa Jepang) 26 Desember 2004. Baik mereka yang berada di Aceh maupun sedang di luar Aceh. Apalagi mereka yang merasakan langsung dahsyatnya goncangan gempa dan digulung gelobang Smong. Termasuk penulis sendiri.

Namun kali ini saya akan menceritakan kembali kisah seorang sahabat,  Nur Saadi, yang menurut saya sangat penuh hikmah. Mohon izin kepada ustadz Nur Saadi untuk menulis kembali kisah antum di Blog saya ini.

Bismillah

SABTU, 25 Desember 2004, Pukul 23.00, saat itu saya sedang di Asrama Keraton, Banda Aceh.

Setelah sepanjang hari beraktivitas saat berencana pulang hendak istirahat, saya berjumpa abang saya Lutfi Ibrahim. Terjadi obrolan singkat antara kami.

Beliau berkata, “nginap tempat abang aja di ketapang.”

Saya jawab “Besok Saadi harus cepat ke Darusalam bang.”  Saat itu sejak tanggal 25 – 26 Des 2004 sedang berlangsung MUBES LDK IAIN Araniry (sekarang bernama UIN Ar Raniry)

“Besok pagi sekalian keluar sama abang. abang piket pagi, minggu besok.” katanya lagi sedikit memaksa.

Abang kandung saya, Lutfi Ibrahim adalah seorang sipir penjara, yang bertugas di penjara keudah di samping terminal “labi-labi” (angkot) Keudah.  Ahad, 26 Desember 2004 beliau masuk piket jam 8 pagi.

“Oh .. oke bang .. PAS lah. Sekalian berarti Saadi naik labi labi di terminal keudah aja, ke Darusalam.” ujar saya akhirnya. Biasanya saya menuju kampus berjalan kaki dari asrama keraton sampai pertokoan Sinbun Sibreh.

Akhirnya saya pulang dan nginap di rumah abang saya di perumnas Lambheu, Keutapang, Aceh Besar.

Ahad, 26 Desember 2018, pagi itu setelah shalat shubuh di masjid Babul Iman, karena masih ngantuk saya kembali.

Pukul 07. 30 bang Luthfi membangunkan saya dengan sedikit emosi karena saya belum bangun tidur. Sementara beliau harus segera berangkat dinas.

“Abang udah selesai ngopi, kau belum bangun, abang tinggal nanti. Udah tau abang piket!” katanya dengan suara agak tinggi.

Sontak saya langsung bangun dan bergegas masuk ke kamar mandi. Abang saya pun keluar lagi entah kemana. Setelah mandi dan berkemas, ambil menunggu abang

Pukul 08.20, karena abang saya belum pulang, maka sambil menunggu beliau, saya berwudhu dan melaksanakan Shalat Sunnat Dhuha. 2 rakaat pertama sambung Dzikir, semua baik2 saja. Saat masuk 2 rakaat berikutnya, terdengar suara abang saya sangat besar teriak.

“Mana si Saadi masih di kamar mandi dia?  belum siap juga?!!” tanya beliau kesal.

Kakak ipar saya menjawab “Lagi shalat dia bang. Tadi udah tunggu abang, shalat dhuha dulu dia.”

“Ya udahlah kalau sedang shalat, telat abang gara-gara dia.” Bang Lutfhi masih ngomel (hehe.. maafkan dinda abangku)

Saat salam rakaat keempat selesai, saya langsung berdiri nambah 2 rakaat lagi. Karena saya shalat di ruang belakang, abang saya tunggu di teras depan, saya pikir “2 rakaat lagi lah, Biar tuntas 6 rakaat saja.”

Allahu Akbar, Rakaat 6 Dhuha Gempa Pertama Terjadi.

Saya tidak tau itu jam berapa, dalam gempa, saya terus selesaikan shalat dhuha saya. Sangat terasa keras betul goncangan gempa itu. Terdengar abang saya berteriak,

“Keluar semua, keluar..!” memanggil istri dan anak-anaknya.

“Saadi mana?!” tanya Bang Lutfi.

“Masih shalat dia..”  kata istrinya.

Sementara saya berusaha tetap selesaikan hingga salam, 6 rakaat dhuha saya hari itu. Lalu saat hendak keluar gempa kedua pun terjadi. Saya yang masih di dalam rumah, sambil coba menahan barang-barang, kulkas, TV, lemari yang mau jatuh ke lantai akibat kencangnya gempa.

Terdengar suara orang diluar berteriak silih berganti, suara Takbir dan Tahlil terdengar keras dari mulut warga sambil duduk di jalan depan rumah masing-masing.

Setelah sekitar 3 – 4 kali gempa, sepertinya sudah hampir jam 10.

“Kau di rumah aja jangan kemana, abang mau ke kantor dulu. Gak tau ni entah kek mana kantor, semoga gak apa, kita telpon kantor gak ada yang nyambung.” kata abang saya.

Lutfi Ibrahim, Telat Bertugas Sebagai Sipir LP Keudah di Ahad Pagi 26 Desember 2004, karena menunggu Saadi selesai Shalat Dhuha.
Saat itu  warga Lambheu belum mendapat informasi, bahwa setelah gempa besar di susul naiknya air laut sampai ke kota. Abang saya langsung gerak ke penjara keudah dan tidak lama kembali pulang.  Ia bercerita Kalau akses jalan menuju kota di tutup Brimob dan TNI.  Dalam perjalanan abang saya binggung melihat orang-orang panik,  lari ke arah perbukitan Mata Ie. Beberapa masyarakat terlihat mengalami luka-luka.

“Air laut naik…air laut naik..!” teriakan itu sempat didengar abang dalam perjalanan pulang

Malamnya kami berjumpa warga asrama keraton yang mengungsi di masjid Babul Iman. Mendengar cerita apa yang mereka alami hari itu, kami antara percaya tidak percaya karena belum melihat.  Aliran Listrik sempat padam dan jaringan HP putus. Saat aliran listrik normal, baru saya tahu melihat tayangan televisi.  Saya terduduk lemas sambil mulut tak henti ber-istighfar. Astagfirullahal Adzim.

Jaringan komunikasi masih terputus. Keluarga saya di Sigli tidak mendapatkan kabar dari saya. Bermacam pikiran dipikirkan oleh orang tua, keluarga dan saudara di kampung tentang saya. Hingga akhirnya tanggal 1 januari 2005 baru saya dapat saya memberi kabar, bahwa alhamdulillah saya dan keluarga di Banda Aceh semua selamat dan dalam keadaan sehat wal afiat.

Seorang warga Aceh menatap sisa bangunan rumah setelah di hantam Gempa dan Smong Aceh, 26 Desember 2004. (photo. Tribunnews)


Bang Irwandi dan Kak Cut Nur Asikin Alami Gempa dan Tsunami Dalam Penjara

30 Desember 2004, dalam gelap gulita, rasa panik dan takut masih terasa akibat masih terjadi gempa serta isu  adanya gelombang air lalu susulan. Malam itu, sekitar jam 21.30  rumah abang saya kedatangan empat orang tamu berpostur tinggi besar. Mereka memberi salam dan bertanya. (percakapan dalam bahasa Aceh)
“Assalamualaikum, benar ini rumah  Komandan Lupi?”

Tidak lama abang saya keluar menemui tamu itu dan sangat terkejut. Ternyata mereka adalah warga binaan penjara LP Keudah.

“Silahkan duduk. Ya bagaimana? Ada apa?” tanya abang saya masih terkejut dan penasaran.

“Pak Lupi, kami hendak mohon izin. Penjara hancur, banyak korban meninggal. Alhamdulillah kami termasuk yang selamat.” kata mereka.

“Bang Wandi bagaimana kabarnya?” tanya abang saya kemudian, menanyakan kabar Pak Irwandi Yusuf. (Gubernur Aceh sekarang. red)

“Bang Wandi selamat juga, tapi beliau mengalami luka-luka. Namun Kak Nur Asikin sepertinya tidak selamat. Kami semua mengira sudah kiamat pak.’‘ ujar mereka lagi.

“Maksud kami menghadap komandan, kami mohon diizinkan pulang kampung untuk melihat kondisi dan bertemu keluarga. Agar mereka tidak khawatir tentang kabar kami. Kami tidak ingin dianggap melarikan diri pak. Apalagi penjara sudah hancur total,” kata salah seorang diantara mereka.
.........

Ternyata saat peristiwa gempa tsunami, Bapak Irwandi Yusuf sedang menjalani masa tahanan di LP Keudah, sedangkan Kak Cut Nur Asikin sepertinya di LP Lhoknga. Banyak saudara kita para narapidana yang syahid menjadi korban Smong, diantaranya adalah (alm.) Kak Cut Nur Asikin. Allhummaghfirlahum

Almarhumah Kak Cur Nur Asikin dan Bapak Irwandi Yusuf saat menjalani masa tahanan. (photo. Doc. Net)
 Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Semoga seluruh Syuhada Tsunami/ Smong Aceh mendapatkan ampunan dan Kasih Sayang Allah dan menjadi ahlal jannah.  Amiin ya Rabbal Aalamiin

Semoga kisah nyata ini menjadi Ibroh untuk kita semua. Laa Khaula wa La Khuwata Illa biLLah.
Salam hormat saya.

Penulis, Nur Saadi, adalah warga Asrama Keraton, Tokoh Muda Kota Banda Aceh dan Politikus PKS. Pemilu 2019 beliau maju sebagai Caleg DPRK Banda Aceh, Dapil 1 Baiturrahman - Lueng Bata.
Share:

SMONG , Jadikan Kata Daerah Aceh ini Gantikan Istilah "Tsunami" dari Bahasa Jepang

Photo Bencana Gempa dan SMONG yang Melanda Aceh, Ahad 26 Desember 2004 (doc.net)

Istilah Smong dari bahasa Simeulue, Provinsi Aceh, diusulkan menjadi kosa kata baru Indonesia menggantian istilah tsunami yang berasal dari Jepang. Smong berarti "gelombang besar yang menggulung" sangat tepat menggambarkan peristiwa tsunami yang pernah melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
 
Ide tersebut telah lama disampaikan Aktivis Komunitas Siar Smong, Yoppi Smong, dalam acara panggung Seni Budaya Aceh bertajuk " Smong; Sastra Merekam Bencana" di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Infonesia, Jakarta, Jumat (31/10/2014).

Yoppi Smong yang pernah meneliti peristiwa smong  di Simeulue dan dituangkan dalam buku "Smong" menyebutkan, istilah smong ditemukan dalam sastra tutur Nandong yang dituturkan turun temurun dalam masyarakar Simeulue.

Masyarakat Simeulue berhasil menyelamatkan diri dari hantaman smong atau tsunami karena telah memiliki pengetahuan kebencanaan, yang dituturkan dalam sastra Nandong. 

"Apabila datang gempa kuat, disusul laut surut, segeralah cari tempat tinggi. Itulah smong namanya," kataYoppi mengutip penggalan puisi Nandong-Smong. Puisi tersbut aslinya dituturkan dalam bahasa lokal Simeulue.

Pada peristiwa smong atau tsunami Aceh, jumlah korban di Simeulue sangat sedikit, tujuh orang meninggal dunia. Bandingkan dengan jumlah korban jiwa  di daratan pesisir Aceh lainnya mencapai 250 ribu meninggal dunia dan 200 ribu lagi dinyatakan hilang.

Yoppi Smong menyebutkan, smong adalah kearifan lokal Simeulue yang berisi informasi peringatan dini bencana melalui sastra tutur. 

"Jauh sebelum teknologi sistem peringatan dini bencana ditemukan, masyarakat Simeulue telah memiliki pengetahuan kebencanaan yang dituturkan dalam bentuk sastra tutur. Inilah salah satu fungsi sastra," katanya.

Pulau Simeulue pernah dihantam smong atau tsunami pada 1883, 1907, dan 2004. Korban paling banyak jatuh pada peristiwa 1907. Korban yang selamat kemudian menuturkan peristiwa dahsyat itu dalam sastra tutur Nandong. 

"Inilah salah satu alasan kami mengusulkan istilah smong sebagai pengganti tsunami," kata Yoppi.

 Dikutip dari Tribunnews


 
Share:

Sabtu, 01 Desember 2018

"Keadilan Sudah Hilang" Tulisan Ust. Felix Siauw, Sang "Aseng Yang Baik"

 

https://www.youtube.com/watch?v=Trwgy8EHVZg&feature=youtu.be

Keadilan Sudah Hilang

oleh : Felix Siauw
Membuka sebuah kanal berita pagi buta, dan saya tak mau percaya, tapi itu di depan mata, terekam kamera dengan sempurna, kengerian yang nyata
Tak percaya bahwa ini terjadi di Indonesia, bahkan mengatasnamakan 'Jaga Indonesia', tak hanya tuduhan dan fitnah yang diucapkan mulut mereka
Tak hanya itu saja, ancaman disebar pada peserta, yang akan memadati reuni dua satu dua, tegas sekali kebencian dari lisan mereka, amarah bercampur murka
Berorasi di depan balaikota, mengatasnamakan negara dan pancasila, tapi lisannya penuh makian dan cela, gubernur dimaki juga, banci, bangke, katanya
Katanya menolak HTI, padahal hatinya yang mati. Katanya HTI berniat menghancurkan negeri, padahal mereka sudah jadi membuat kerusakan, intoleransi, persekusi
Yang lebih aneh lagi polisi, kemana polisi? Diam berbuat apapun saat ancaman kekerasan diproklamasi, saat rencana kriminal diumumkan di depan wajah polisi
Dengar-dengar, polisi sibuk mendata hadirin 212, kalau bisa dihalangi, atau ditakut-takuti. Hantu di depan mata diabaikan, yang membantu dicurigai
Adakah sekali saja HTI yang dijadikan kartu mati itu mengancam? Membuat rusuh? Tapi lihat yang main ancam, main bawa golok? Kok luput dari radikal?
Adakah 212 dan reuninya membuat ancaman kekerasan? Bahkan sampah pun tak ditolerir, bahkan rumput pun dapat kedamaian, tapi tetap dituduh dan dipisuh
Keadilan, kata yang di negeri ini hilang. Sebab semua yang memihak rezim, lalu berteriak NKRI harga mati, saya Pancasila, merekalah kebenaran sekaligus tuhan
Tak apa, kami percaya pada perjuangan ini, kami takkan balas mengancam, takkan meladeni kekerasan, kami mendoakan siapapun yang membenci, itu perintah Nabi
Karena kami yakin, saat keadilan itu tak dapat lagi dipenuhi oleh penduduk bumi, maka dari langitlah keadilan itu akan diturunkan dan ditegakkan
Inilah jalan yang kita pilih, jalannya para Nabi, syuhada, shiddiqin, dan salihin. Bersatu padu, bersihkan hati, luruskan niat, bersiap hadiri Reuni 212



 
Share:

Selasa, 26 Desember 2017

Santap Hidangan di Pendopo Gubernur Aceh, UAS Makan Gunakan Tangan


Sebuah photo beredar di media sosial saat Ustadz Abdul Somad (UAS) memenuhi undangan makan di pendopo Gubernur Aceh. Photo tersebut menjadi viral dan menjadi pembahasan warganet. Dalam photo terlihat UAS menikmati makan hidangan khas Aceh bersama gubernur Aceh Irwandi Yusuf, didampingi sejumlah tokoh ulama dan pejabat Aceh. 

Namun yang menarik adalah, ustadz Abdul Somad terlihat menyantap makanan tetap menggunakan tangan walaupun telah tersedia sendok dan garpu. Kesederhanaan UAS saat makan dengan menggunakan tangan ini mengundang kekaguman warganet. Karena"Dai sejuta viewers dan followers" itu tetap tampil bersahaja walau dalam sebuah momen acara  resmi menjadi tamu pemerintahan.

Mungkin bagi sebagian orang menganggap makan menggunakan tangan adalah hal yang biasa. Tentu saja makan menggunakan tangan, sendok dan garpu maupun menggunakan sumpit adalah pilihan masing-masing orang tergantung kenyamanan dalam menikmati hidangan dan tidak ada yang perlu disalahkan. Selama sebelum makan tidak lupa membaca Basmallah dan menyuap makanan ke mulut menggunakan tangan kanan. 

Namun demikian makan menggunakan tangan, selain mengikuti sunnah Rasul ternyata juga sangat bermanfaat bagi kesehatan. Bahkan hal ini telah di akui pakar kesehatan dan dokter dari dunia barat.

Makan Menggunakan Tangan Lebih Sehat Daripada Menggunakan Sendok Garpu

Makan menggunakan tangan tentu terdengar aneh dan primitif serta pasti banyak orang yang merasa tidak tertarik melakukannya. Namun, cara yang disebut “primitif” itu ternyata merupakan cara makan yang lebih sehat, dan percaya atau tidak, cara itu ternyata dapat menjaga kondisi kesehatan Anda.
Tahun 2015 situs healthierwayoflife.com menyampaikan hal ini sebagai penemuan baru yang begitu mencengangkan.
Padahal terkait sunnah yang satu ini, Rasulullah ï·º sudah mencontohkannya kepada kita jauh-jauh hari: Dari Ka’ab bin Malik dari ayahnya ia mengatakan, “Rasulullah ï·º itu makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jari-jari tersebut sebelum dibersihkan.” (HR. Muslim No. 2032 dan lainnya)
Lebih lanjut Healthier Way of Life menjabarkan beberapa manfaat makan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu, yaitu:
Mencegah Diabetes Tipe 2
Orang-orang yang makan dengan cepat beresiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2. Umumnya, jika Anda menggunakan garpu dan pisau maka Anda makan lebih cepat daripada makan dengan tangan Anda. Oleh karena itu, sebisa mungkin akan lebih baik jika Anda senantiasa makan dengan cara “primitif”.
Selain itu, Anda hanya dapat meyuap sepotong irisan makanan ketika Anda makan dengan tangan Anda, sementara jika Anda makan menggunakan garpu Anda, Anda dapat mengambil 5-6 potong sekaligus. Dan, Anda akan makan lebih lambat dengan tangan Anda daripada mengguankan garpu.
Meningkatkan Kinerja Sistem Pencernaan
Ini mungkin terdengar aneh, tapi makan dengan jari-jari Anda dapat meningkatkan kinerja sistem pencernaan juga karena ketika Anda mencuci tangan dengan sabun, semua bakteri jahat dibasmi sedangkan bakteri baik tetap ada di tangan Anda, yang bisa sangat sehat untuk usus Anda.
Selain itu, makan dengan jari-jari Anda bisa mengirimkan sinyal ke otak mengenai makanan yang Anda makan, apakah itu padat atau lembut, panas atau dingin, sehingga mempersiapkan sistem pencernaan untuk mencerna makanan tersebut.
Mencegah Makan Terlalu Banyak
Orang-orang yang makan dengan tangan memiliki berat badan yang lebih seimbang karena mereka tidak makan terlalu banyak. Akan menjadi sangat baik untuk anak-anak, jika orangtua mereka mengizinkan mereka untuk makan dengan tangan saja. Ini dianggap sebagai cara paling aman untuk mempertahankan berat badan normal.
Selain itu, orang-orang yang makan sambil melakukan sesuatu yang lain, seperti menonton TV, akan makan lebih banyak makanan daripada mereka yang fokus duduk dan makan saja.
Ketika Anda makan dengan tangan Anda, Anda tidak dapat melakukan hal lain karena tangan Anda tidak bersih dan atau sibuk. Oleh karena itu, Anda hanya terfokus pada proses makan dan Anda akan tahu berapa banyak makanan yang Anda makan dan kapan saatnya untuk berhenti.
Apa Makna Sunnah Makan dengan Tangan?
Di antara sunnah Nabi ï·º, adalah makan dengan menggunakan tangan kanan dengan tiga jari. Diriwayatkan dari Ka’ab bin Malik, dari bapaknya, beliau mengatakan; “Rasulullah ï·º itu makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan dan menjilati jari-jari tersebut sebelum dibersihkan.” (HR Muslim no. 20232 dan lainnya)
Tentang hadist di atas, Ibnu Utsaimin radhiallahu anhu mengatakan: “Dianjurkan untuk makan dengan tiga jari, yaitu jari tengah, jari telunjuk, dan jempol, karena hal tersebut menunjukkan tidak rakus dan ketawadhu’an. Akan tetapi hal ini berlaku untuk makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari.
Adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari, misalnya nasi. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi ï·º.” (Syarah Riyadhus shalihin Juz VII hal 243)
Sementara itu, dalam sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Dr Charles Gerba dari University of Arizona dikatakan bahwa kita tidak mungkin menghalangi kuman dan bakteri masuk ke dalam lingkungan kita. Namun kita bisa memerangi kuman dengan cara mencuci tangan setiap sebelum dan selesai beraktivitas.
Dan, seperti dipublikasikan paparetta.wordpress.com, pada bulan Oktober 2010 lalu. Makan menggunakan tangan terbukti lebih menyehatkan. Karena dalam tangan, terdapat enzim RNAse yang dapat mengikat bakteri, sehingga tingkat aktivitasnya sangat rendah ketika masuk bersama makanan ke saluran pencernaan tubuh.
Pada dasarnya, tujuan utama enzim RNAse ini digunakan dalam analisis genetik, dengan tujuan mendegradasi RNA, sehingga yang tinggal dari sebuah sel hidup adalah DNA-nya.
Enzim ini selalu terkandung dalam jari-jari dan telapak tangan manusia, sehingga –dengan asumsi sudah dilakukan upaya menghigieniskan tangan sebelumnya– proses penyuapan makanan ke dalam saluran pencernaan akan mengikutkan enzim yang bisa mengikat sel bakteri agar aktivitasnya tidak maksimal.
Begitu makanan masuk ke saluran pencernaan, maka enzim ini akan ikut mengikat pergerakan bakteri hingga ke saluran pembuangan. Sebaliknya, jika manusia makan menggunakan alat perantara seperti sendok dan garpu, maka tidak ada yang bisa menahan laju aktivitas bakteri yang terkandung, baik di makanan atau alat makan itu sendiri. MasyaaAllah.
Share:

Rabu, 22 November 2017

Ketika Ulama Memuliakan Ulama, Mengapa Masih Ada "Oknum" Yang Jahil dan Jaim?


Perasaan Cinta dan Sedih mendorong hasrat saya untuk menulis. Namun ada gejolak emosi yang membuat otak tidak mampu mengeluarkan ide apapun untuk mulai menggerakkan jari.

Perasaan Cinta saya kepada para Ulama, layaknya seorang santri mencintai Guru atas segala ilmu yang pernah di ajarkan serta berharap syafaat dan berkah, Namun perasaan Sedih juga tidak bisa saya sembunyikan selama ini, saat mendengar banyak Ulama yang di hina dan di fitnah di Negeri ini.

Kemarahan sempat hinggap saat penghinaan terhadap para Ulama karismatik Aceh dan Ulama nasional dilakukan oleh beberapa "oknum Netizen" di media sosial. Ada yang cuma akun palsu, ada yang cuma anak ingusan jaman now yang cari sensasi dan akhirnya minta maaf setelah ter-cyiduk, bahkan ada pula akun dari kalangan "oknum" tokoh akademisi yang follower-nya mencapai ribuan.

Heran, ternyata semakin tinggi pendidikan, semakin hebat titel dan gelar yang disandang, tidak menjamin seseorang semakin cerdas dan berakhlak.

Tapi lagi-lagi, saya tidak mampu menuliskan apapun untuk mewakili perasaan Cinta, Sedih dan Marah yang bercampur aduk saat Ulama di hina. Hingga semalam, saya membaca sebuah tulisan indah dari seorang Guru saya, yang saya anggap juga sebagai Ulama.

Beliau adalah Bapak Rustam Effendi, dosen saya masa kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Walau saya selalu mendapatkan nilai E dan D pada mata kuliah beliau, tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat saya pada beliau yang saya anggap juga sebagai Ulama. Karena bagi saya, setiap orang yang berilmu pengetahuan tinggi adalah Ulama dibidangnya, dan setiap orang yang pernah mengajari saya ilmu adalah Guru saya.

Pak Rustam Effendi, saya mohon di izinkan untuk membagikan kembali tulisan bapak di "tembok coretan" saya ini. Semoga diperkenankan.


HORMATILAH ULAMA


"ANDA boleh saja bergelar Doktor yang ahli konduktor, atau jago Matematika dengan kemampuan mengurai rumus hingga bintang tujuh. Anda bisa saja menyandang gelar Profesor yang sangat jago soal kompresor. Mungkin, Anda seorang Master yang dikenal hebat dan ahli obati penyakit udang Lobster. Atau, bisa jadi Anda baru saja menyandang titel Sarjana yang skripsinya memuat masalah dampak bencana, atau cara atasi hama tanaman Pala.

TIDAK masalah. Masing-masing hamba dikurniai hebat dibidangnya sendiri-sendiri. Hidup memang ada yang kita kejar dan disandang. Dengan begitu mungkin orang akan memandang kita. Itu pula yang mungkin membuat kita bernilai dan dikenal.

SIAPA pun kita, sebaiknya tidak lupa diri. Tidaklah memandang remeh orang lain. Setinggi apa pun sekolah dan gelar yang kini kita sandang searifnya tidak mengabaikan orang-orang di sekeliling kita.

ORANGTUA kita yang terutama harus dihormati. Karena mereka kita bisa begini. Ingatlah saat-saat kita dulu masih belum mampu berbuat apa-apa. Ayah-Bunda yang mengasuh dan mengarahkan hidup kita dengan buaian dan belaian kasih sayangnya. Papa-Mama kita juga yang membuat hidup kita jadi bermakna. Tanpa orangtua hidup sangat hampa dan dapat gelap arah jalan kita.

ULAMA juga sosok lain yang tak boleh kita remehkan dalam alur kehidupan ini. Inilah pewaris Nabi, penerang jalan kehidupan di saat-saat kita kehilangan arah. Ulama menjadi tempat bertanya, tidak hanya di saat susah dan gelisah, tapi juga ketika kita sedang dikucuri rahmat dan nikmat.

SAHABATKU, hargailah Ulama. Boleh kita tidak menyanjungnya, tidak mengapa, itu hak kita. Tapi, tetaplah hormati Ulama. Boleh saja Anda bergelar Profesor, Doktor, Master, atau Sarjana, tapi sejatinya jangan pernah hina Ulama, jangan pernah caci Ulama.

TAK mungkin lagi kita bisa bertemu Nabi dalam hidup ini karena tidak akan ada lagi Nabi. Tapi, yakinlah kita tetap akan selalu bertemu Ulama. Ulama juga yang ikut memandikan, mengkafankan, dan mensalatkan ketika kita mati, saat kembali ke haribaan Ilahi, nanti."

PESAN saya, jangan angkuh-congkak-sombong, Kawan.  

Tetap HORMATI ULAMA !♡♡♡♡♡[RE•21•11•2017]


Kutipan

Share:

Minggu, 19 November 2017

Ikan Paus Terdampar Pertanda Apa? Ini Pesan Ulama Aceh, Waspadalah


Masih segar di ingatan kejadian terdamparnya 10 ekor ikan Paus di Aceh Besar beberapa waktu lalu. Peristiwa yang tergolong langka tersebut tidak hanya menjadi pembicaraan hangat di Aceh, bahkan perhatian dunia Internasional. Sejumlah isu pun beredar terkait peristiwa terdamparnya ikan raksasa yang jenisnya di sebut dalam Al Quran dengan kisah Nabi Yunus Alaihi Salam.
Lalu, Apakah ada suatu pertanda kejadian Alam terkait peristiwa ini?


Saya tertarik pada tulisan Ustadz Tgk, Teuku Zulkhairi di status facebooknya, saat menanyakan  kepada seorang Ulama Karismatik Aceh, Almukarram Abu Kuta Krueng, perihal terdamparnya Ikan Paus di Aceh tersebut. 

Berikut saya kutip kembali tulisan beliau, dengan sedikit perbaikan kata tanpa mengurangi isi dan makna.
Sepulang dari mengisi sebuah pelatihan di Bireuen, saya (Tgk, Teuku Zulkhairi) minta pada Tgk Muhammad Zikri untuk diantarkan ke Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee.Alhamdulillah, dengan ditemani guru senior di Dayah tersebut  Tgk Mujlis Darul Munawwarah hampir jam 11 malam, akhirnya bisa meminta petuah Abu Kuta Krueng, setelah selesai dengan masyarakat lain yang sudah duluan antri. Abu Kuta Krueng, sebagaimana jg para ulama lainnya senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dalam hampir keseluruhan waktu dan hari-hari beliau. Ada masyarakat yg datang bertanya, minta tolong, minta dido'akan, minta nasehat, curhat dan seterusnya. Dan tentu saja, plus all out kebanyakan waktu beliau untuk membina generasi muda Aceh di Dayah beliau yang "Legendaris".  
Mengetahui saya dari Banda Aceh, Abu Kuta Krueng dengan semangat mengingatkan bahaya aktual komunisme. Menurut informasi, Abu Kuta Krueng memang dari dulu selalu mendoakan umat Islam dan negara ini dari bahaya makar Komunisme/ PKI. 
Setelah itu, akhirnya saya menyampaikan informasi terdamparnya Ikan Paus di perairan Aceh, Sebagaimana sebelum tsunami dulu hal serupa juga pernah terjadi. Lalu kami bertanya "apa tanda dari kejadian ini dan nasehat beliau untuk kami dan juga masyarakat Aceh.  
Lama Abu Kuta Krueng menunduk, dan kami pun terdiam hening.


Hingga kemudian, beliau mengingatkan sebuah pesan yang setiap jumat juga disampaikan para khatib shalat jum'at.
"Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Dan janganlah kalian mati kecuali kalian dlm keadaan Islam".
Itulah nasehat ringkas Abu Kuta Krueng dimana beliau mengutip sebuah ayat pesan taqwa. Sebuah nasehat yg padat.
Kalau kita membaca buku-buku dan kitab tentang apa itu taqwa, maka kita akan menemukan sejumlah kriteria taqwa, Seperti beriman pada yang Ghaib, yaitu akan adanya hari kiamat dan adanya Malaikat (sesuatu yg tidak dipercayai kaum komunis). 

Kriteria berikutnya yaitu mendirikan shalat (sebagai tiang agama), puasa, rajin ber-istighfar di sepertiga malam, sabar menghadapi musibah, Tahajjud, suka memaafkan kesalahan orang lain, suka menginfakkan harta di jalan Allah di waktu sempit maupun lapang, menahan amarah dan seterusnya. 
Itulah di antara beberapa kriteria Taqwa disamping kriteria yang lainnya. Semoga Allah jadikan taqwa sebagai pakaian kita semuanya, karena sebaik-baik bekal di akhirat adalah Taqwa. 

Lalu, terkait dengan nasehat "Dan janganlah kalian mati kecuali dlm keadaan Islam", marilah kita berjuang sekuat tenaga dan berdo'a agar istiqamah di jalan Islam (mengikuti syari'at) sehingga akan meninggalkan dunia ini dalam keadaan kita sebagai Muslim atau muslimah dan Husnul Khatimah. 

Ini adalah nasehat penting di (akhir) zaman yang penuh fitnah, seperti diperingatkan oleh Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam dalam hadis-hadis beliau, bahwa akan datang suatu zaman dimana banyak yang paginya beriman dan menjadi kafir di waktu sore. Begitulah sekilas gambaran sulitnya mempertahankan iman dan islam di akhir zaman. 

Oleh sebab itu, mari saling mengingatkan dan mendo'akan, jangan menjadi Sekuler, Liberal, Pluralisme Agama dan seterusnya. Dan tetaplah dalam Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai sebuah Paradigma yang Tawasuth (moderat) di antara yang terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan. 

Kita tidak bisa lari dari kematian dan apapun yang sudah atau akan ditaqdirkan oleh Allah Subhanahu wa Taalah, tapi kita bisa berjuang untuk meraih taqwa dan mempertahankan keimanan kita, sehingga Aqidah kita tetap Salim (selamat) dari hal-hal yang mengotorinya.Oleh sebab itu, marilah kita selalu berdo'a agar bisa meninggalkan dunia ini dlm keadaan Husnul Khatimah. Amiin ya Allah

sumber : akun Facebook Teuku Zulkhairi
Share:

Terima Kasih Hari ini Anda Pembaca ke:

REPORTER TV