𝐌𝐄𝐃𝐈𝐀 𝐑𝐄𝐏𝐎𝐑𝐓𝐀𝐒𝐄 𝐆𝐋𝐎𝐁𝐀𝐋


🅿🅴🅼🅱🅰🅲🅰

Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Desember 2023

INDONESIA Tegaskan Tidak Berhubungan dengan israel sebelum PALESTINA MERDEKA

 


THE REPORTER , Sumbar- Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengungkapkan bahwa Indonesia terus mendukung kemerdekaan Palestina. Untuk mendukung Palestina, Indonesia kerap kali ikut dalam resolusi PBB tentang Gaza, Palestina.

 

“Kalau misalkan Palestina sejak awal Indonesia sudah menyatakan berdiri bersama Palestina kita pendukung kemerdekaan Palestina itu, oleh sebab itu semua resolusi PBB yang mendukung Palestina, Indonesia ikut di dalamnya," kata Mahfud saat berbincang dengan awak media di Kantor DPD Sumbar Partai Hanura, Minggu (17/12/2023)

Menko Polhukam ini menuturkan, Indonesia akan mencari jalan damai. Indonesia pun kata Mahfud selalu menghormati Palestina sebagai sebuah entitas negara.

"Kita akan mencari jalan damai, tapi tetap Palestina itu adalah sebuah entitas yang harus dihargai sebagai sebuah bangsa dan negara," katanya.

Sehingga, kata dia, Indonesia tidak akan berhubungan dengan Israel hingga Palestina mencapai kemerdekaannya.

"Jadi sudah jelas kita tidak akan berhubungan dengan Israel sebelum Palestina merdeka," pungkasnya.()
 

Share:

Selasa, 12 Desember 2023

Warga Aceh Tolak Pengungsi Rohingya jadi Sorotan Media Al Jazeera

 


THE REPORTER, Banda Aceh - Penolakan masyarakat Aceh terhadap kedatangan pengungsi muslim Rohingya mendapat sorotan dari media-media internasional.

Kantor berita yang berbasis jazira Arab - Qatar, Al Jazeera misalnya, melaporkan bahwa masyarakat Aceh sebelumnya menerima pengungsi Rohingya ini dengan penuh kehangatan.

Namun ketika gelombang kedatangan terjadi pada pertengahan November 2023, masyarakat Aceh mulai menyuarakan penolakan.

“Masyarakat Aceh di Indonesia sebelumnya menerima pengungsi, ketegangan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kedatangan,” laporan Al Jazeera yang diposting pada Minggu (10/12/2023).

Diketahui, sebanyak 315 orang lebih tiba dalam dua gelombang pada Minggu (10/12/2023) di Aceh.

Satu kapal berisi 135 muslim Rohingya mendarat di kawasan Pantai Kreung Raya, Aceh Besar

Sementara kapal lainnya mendarat di pantai Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Pidie dengan jumlah 180 orang.

Kedatangan ini menambah rentetan jumlah kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh sejak November 2023.
Jika ditotalkan, sudah ada 8 gelombang kedatangan pengungsi Rohingya sejak pertengahan November 2023 di Aceh, dengan jumlah hampir mencapai 2000 pengungsi.

“Kami hanya ingin mencari tempat yang aman,” kata seorang pengungsi kepada Al Jazeera di tempat penampungan sementara di bibir pantai.

“Kami tahu kami mungkin mati di laut, tapi akhirnya kami selamat. Hanya itu yang kami inginkan untuk anak-anak kami,” katanya lagi.

Media itu juga menulis sub judul ‘Pantai yang tidak ramah’ dalam pemberitaan tersebut.

Dalam laporannya, dikatakan bahwa penduduk di Aceh tidak akan menyediakan dana, perbekalan, atau perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang datang.
 

“Mereka (penduduk di Aceh) juga tidak ingin mereka (pengungsi Rohingya) tinggal di daerah tersebut,” tulisnya.

Media itu juga mengutip pernyataan Pemerintah daerah di Pidie yang mengatakan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab menyediakan tenda, atau kebutuhan dasar lainnya, atau menanggung biaya apa pun bagi para pengungsi.

Media itu juga mengutip pernyataan warga Aceh, Rijalul Fitri, kepala desa Blang Raya di Aceh.

Mereka tidak ingin pengungsi Rohingya berada di desa mereka.

“Kami begadang semalaman agar tidak mengizinkan mereka berlabuh (dan mendarat), tapi mereka tiba,” katanya.

Fitri bersikukuh para pengungsi harus direlokasi. “Mereka tidak bisa tinggal di sini,” katanya.

Al Jazeera juga menyoroti aksi demonstrasi di Kota Sabang yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya.

“Lebih dari 100 pengunjuk rasa terjadi di Kota Sabang di Aceh, di mana terdapat tempat penampungan sementara, bentrok dengan polisi saat mereka menyerukan agar pengungsi Rohingya direlokasi” tulisnya.


 Fitri mengutarakan kepada media itu bahwa warga Aceh ini orang miskin dan kenapa mereka tidak menggunakan uang perjalanan itu untuk membantu masyarakat Aceh.

“Kami menolak Rohingya,” kata pengunjuk rasa lainnya.

“Kami ingin mereka dipindahkan secepatnya. Kami tidak ingin tertular penyakit yang mereka bawa,” ujarnya.

Sementara itu, Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR), Faisal Rahman, mengatakan organisasi tersebut telah berusaha meyakinkan masyarakat setempat.

“Kami terus menjelaskan situasi ini kepada masyarakat dan memastikan bahwa mereka tidak akan terbebani dengan penanganan pengungsi,” katanya, mengakui bahwa tempat penampungan yang ditunjuk melebihi kapasitas.

Namun pemerintah berupaya menyediakan tempat berlindung karena jumlah pengungsi yang datang sangat tinggi.

PBB mengatakan kondisi sulit dan peningkatan kejahatan di Bangladesh serta memburuknya krisis di Myanmar adalah alasan peningkatan arus pengungsi.

Para ahli memperkirakan lebih banyak kapal akan tiba dalam beberapa bulan mendatang.

“Sekitar 75 persen pendatang baru adalah perempuan dan anak-anak,” Emily Bojovic dari kantor badan pengungsi PBB di Asia Tenggara mengatakan kepada Al Jazeera.


sumber artikel: Serambinews

sumber Photo: CNBCindonesia

 

Share:

Jumat, 28 Desember 2018

Bencana Semakin Rentan Terjadi. Baca ini !! Kenali Bencana Untuk Mengantisipasi


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam. Pengetahuan lokal tersebut lahir sebagai wujud dari adaptasi masyarakat dengan perubahan lingkungannya. Salah satunya adalah cerita tentang pengetahuan lokal masyarakat Kepulauan Simeulue, yang disebut Smong. Pulau Simeulue yang terletak di pantai Barat Provinsi Aceh ini menyimpan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tsunami.
Pengetahuan lokal masyarakat Simeulue tentang Smong mengalami pasang surut. Pengetahuan ini redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai tsunami terdahsyat pada 2004.

Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami pada 2004. Di pulau ini, hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut. Pengetahuan itu yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya.

Adapun nenek moyang orang Palu menyebut gempa bumi sebagai Linu, tsunami dinamakan Bombatalu. Sedangkan likuifaksi mereka sebut sebagai Nalodo yang berarti amblas ditelan bumi.

Masyarakat di daratan Singkil, menyebut tsunami dengan sebutan Gloro, sedangkan masyarakat yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar menyebut tsunami sebagai Ie-Beuna.

Smong yang Menggerakkan


Kisah Smong diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue, bahkan jauh sebelum terjadinya tsunami 1907. Gempa bumi pada 1907 dengan Magnitudo 7,6 diikuti tsunami merupakan sejarah kelam kebencanaan dalam kehidupan masyarakat Simeulue.

Banyak yang menceritakan bahwa lebih dari setengah penduduk Simeulue tewas akibat peristiwa tersebut (tidak ada catatan pasti berapa jumlah penduduk Simeulue saat itu). Peristiwa kelam itu akhirnya dituangkan ke dalam kisah Smong yang dituturkan secara lisan. Tetua masyarakat Simeulue meyakini bahwa peristiwa tersebut dapat berulang di kemudian hari.

Meski Smong telah dikenal jauh sebelum peristiwa tsunami 1907, Smong tersebut tidak mampu menyelamatkan mereka dari amukan gelombang dahsyat yang terjadi lebih dari seabad lalu. Perkembangan Smong mulai tertanam dan terkuatkan setelah kejadian tersebut.

Kata Smong berasal dari bahasa Devayan, artinya hempasan gelombang. Penutur bahasa Devayan pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di bagian selatan Pulau Simeulue. Sementara itu terdapat bahasa daerah lain yaitu bahasa Sigulai yang dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di bagian utara pulau tersebut.

Sedangkan masyarakat yang tinggal di Desa Langi dan Lafakha, yang terletak di barat daya Pulau Simeulue, menggunakan bahasa Lekon. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke tiga penutur bahasa daerah tersebut dalam penyebutan Smong. 

Kisah dalam Nafi-nafi

Kisah Smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Nafi-nafi adalah salah satu budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita (story telling) yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu.

Cerita ini mengandung pembelajaran untuk disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak pada waktu-waktu tertentu seperti setelah memanen cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas salat Magrib dan membaca Al-Quran. Kisah yang terdapat di dalam Nafi-nafi sangat bervariasi, dan salah satunya adalah kisah tentang Smong.

Smong di dalam Nafi-nafi berkisah tentang kejadian tsunami pada 1907. Kisah ini menceritakan runut kejadian tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat. 

Salah satu contoh kisah Smong dalam Nafi-nafi sebagai berikut:


“Ini adalah kisah penuh hikmah, pada zaman dahulu kala, tahun tujuh. Para kakek kalian yang mengalaminya. Mereka menceritakan kisah ini, agar menjadi pengalaman hidup. Waktu itu hari Jum'at, masih termasuk pagi hari. Tiba tiba terjadi gempa bumi. Sangking kuatnya, orang-orang tidak dapat berdiri dan setelahnya air laut surut, ikan-ikan menggelepar di pantai sehingga menarik sebagian orang dan mengambilnya.

Tidak lama kemudian tampak gelombang besar dari tengah lautan, menuju ke daratan. Orang tua berteriak ‘Smong! Smong! Smong!’ Namun, banyak orang tidak sempat menyelamatkan diri ke atas gunung. Setelah Smong reda, orang-orang mencoba kembali ke desa dan menemukan banyak penduduk yang meninggal. Banyak korban tersangkut di atas pohon dan bahkan dijumpai pula korban yang terdampar di kaki bukit atau gunung”.

Kisah Smong juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu perlu membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara.

Kisah Smong dalam Nafi-nafi tersebut mengandung pula anjuran untuk mendiseminasikannya kepada generasi selanjutnya.

Penguatan pengetahuan lokal

Pascatsunami 2004, penguatan Smong dilakukan melalui saluran tradisional masyarakat Simeulue lainnya yaitu Nandong dan berbagai upaya lainnya. Nandong adalah seni tradisional masyarakat Kepulauan Simeulue berupa nyanyian. Namun kebanyakan upaya tersebut belum tersistematis dan berkelanjutan.

Penguatan ini lebih didominasi oleh inisiasi dari pihak luar seperti LSM dan lembaga donor dibandingkan dengan kebijakan yang berkelanjutan dari pemerintah daerah.

Pada umumnya inisiasi tersebut terlihat massif pada masa pemulihan dan semakin menurun intensitas dan keberlanjutannya seiring berjalannya waktu. Padahal, gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan pun. Artinya, perlu dipastikan bahwa penguatan harus berkelanjutan sepanjang waktu karena generasi terus berganti. Generasi tua meninggal digantikan oleh generasi yang baru lahir, yang belum pernah menyaksikan peristiwa tsunami secara langsung.

Memperkuat kapasitas pengelolaan kebencanaan yang lebih komprehensif tetap harus dilakukan tanpa melupakan pengetahuan lokal yang telah ada di masyarakat itu sendiri. Diperlukan upaya pencatatan pengetahuan lokal ini dengan mendokumentasikannya sehingga dapat lebih mudah diakses, berkelanjutan, dan bahkan perlu pula diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan.

sumber : theconversation
Share:

ACEHREPORTER.COM

VIDEO LEGEND