Tampilkan postingan dengan label Tsunami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tsunami. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Desember 2021

Merinding, Terungkap Karamah Wali Allah Ulama Aceh Abu Woyla Sebelum Terjadi Tsunami

 


Ini adalah Kisah Nyata Seorang Santri Melihat Keramat Abu Woyla Wali Allah Sebelum Terjadinya Tsunami di Aceh

Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara yang berasal dari Aceh Barat.

Abu Ibrahim Woyla di kalangan masyarakat Aceh,  juga dikenal dengan nama Abu/Teungku Beurahim Keuramat.

Ketika Abu Ibrahim Woyla meninggal, ribuan orang berkunjung untuk melayat selama 30 hari sebagai tanda bahwa ia sangat dihormati oleh masyarakat.

Abu Ibrahim Woyla dipercaya masyarakat Aceh mempunyai Karomah sebagai Wali Allah.

Diceritakan 15 hari sebelum bencana besar, gempa bumi dan gelombang tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.Dilansir portal Majalengka dari kanal YouTube Penerus Para Nabi.

Wali Allah almarhum Abu Ibrahim, mengabarkan kepada muridnya yang bernama Mukhlis, perihal akan datangnya bencana besar itu.

Namun Abu Woyla, hanya memberitahu kepada dua muridnya saja yang selalu mengikuti.
Tetapi Abu Woyla, melarang memberitahukan kepada orang lain. hanya saja Mukhlis, diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya untuk pergi dari bibir Pantai.

Mukhlis menceritakan kembali keseharian Abu Woyla, sebelum Tsunami meluluh lantahkan Aceh.
Anehnya, tidak seperti hari-hari biasanya
Abu Woyla sudah jarang makan dan terlihat gelisah.

Pernah suatu ketika Mukhlis dipanggil oleh Abu Woyla, untuk memberitahukan perihal bencana besar, saat itu Mukhlis masih menuntut ilmu di Dayah Pelulanteu Aceh Barat.

"Besar sekali kerja ke depan dan siapa saja yang membuka rahasia Allah maka dia kafir begitu", kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim.

Mukhlis juga mendengar hal yang sama dari Abu Usman, yang masih ada hubungan dekat dengan Abu Ibrahim Woylah.

Bahkan kepada orang tuanya sendiri, Mukhlis tidak memberitahukan apa yang sudah beliau ketahui.

"Di bandara Blang bintang, pesawat akan terbang siang malam di laut Ulee Lhe. akan ada kapal laut sebesar lapangan bola di dalamnya orang putih-putih", ucap Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu Usman.

Kata Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim. keseharian Abu seperti berubah.
Bahkan jika sedang tidur malam hari sering Abu tiba-tiba terbangun dan langsung duduk.

Berpikir melihat ini perasaan Mukhlis pun semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau peristiwa besar sudah semakin dekat.

Entah apa yang terpikirkan oleh Abu Woyla, 4 hari sebelum gempa bumi dan tsunami di Aceh, terjadi.

Abu Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh dengan mobil pinjaman Muklis lalu menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh.

Di Banda Aceh mereka menginap di salah satu rumah di kawasan Blower. ada permintaan dari yang punya rumah.

"Agar Abu Ibrahim, berkenan untuk menginap hanya semalam saja di rumahnya", kata Mukhlis.

Mukhlis menambahkan, "saat di sana sewaktu makan pun aku tidak makan lagi, aku mengepal nasinya menjadi 3 bagian.

Setelah aku makan sedikit, satu bagian dari kepala nasinya. kemudian seluruhnya aku berikan kepadanya untuk dimakan".

Pada esoknya Kamis pagi 23 Desember 2006 Abu berkata kepada Mukhlis jika beliau ingin jalan-jalan keliling kota Banda Aceh. tanpa membantah dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun membawa abu jalan-jalan.

Setelah sarapan ala kadarnya di warung samping Simbun Simbreh, lalu Abu meminta Muklis untuk membawanya Ke kawasan peulanggaran. tiba di depan masjid Tengku di Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar pagar Masjid.

Abu menatap ke arah makam tengku di Anjong, seolah-olah Abu berbicara, "sekali Abu terbunuh sendiri" jelas Mukhlis di Dayah pulo Le yang saat itu sedang dalam pembangunan.

Mukhlis mengetahui persis garis keturunan Abu Ibrahim woyla. awalnya garis ke atas keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal dari negeri Belanda.

Berjumlah 7 orang, datang ke tanah Aceh. persisnya berlabuh di Aceh Barat, kemudian ketujuhnya berpisah, ke beberapa daerah di Aceh dan di luar Aceh, untuk menyebarkan agama Islam.

Itulah kisah karomah Abu Woyla Wali Allah dari Aceh yang disaksikan oleh muridnya sebelum terjadinya bencana Gempa dan gelombang Tsunami Aceh, Ahad 26 Desember 2004.(*)

dari berbabagai sumber



Share:

Jumat, 28 Desember 2018

Bencana Semakin Rentan Terjadi. Baca ini !! Kenali Bencana Untuk Mengantisipasi


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam. Pengetahuan lokal tersebut lahir sebagai wujud dari adaptasi masyarakat dengan perubahan lingkungannya. Salah satunya adalah cerita tentang pengetahuan lokal masyarakat Kepulauan Simeulue, yang disebut Smong. Pulau Simeulue yang terletak di pantai Barat Provinsi Aceh ini menyimpan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tsunami.
Pengetahuan lokal masyarakat Simeulue tentang Smong mengalami pasang surut. Pengetahuan ini redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai tsunami terdahsyat pada 2004.

Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami pada 2004. Di pulau ini, hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut. Pengetahuan itu yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya.

Adapun nenek moyang orang Palu menyebut gempa bumi sebagai Linu, tsunami dinamakan Bombatalu. Sedangkan likuifaksi mereka sebut sebagai Nalodo yang berarti amblas ditelan bumi.

Masyarakat di daratan Singkil, menyebut tsunami dengan sebutan Gloro, sedangkan masyarakat yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar menyebut tsunami sebagai Ie-Beuna.

Smong yang Menggerakkan


Kisah Smong diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue, bahkan jauh sebelum terjadinya tsunami 1907. Gempa bumi pada 1907 dengan Magnitudo 7,6 diikuti tsunami merupakan sejarah kelam kebencanaan dalam kehidupan masyarakat Simeulue.

Banyak yang menceritakan bahwa lebih dari setengah penduduk Simeulue tewas akibat peristiwa tersebut (tidak ada catatan pasti berapa jumlah penduduk Simeulue saat itu). Peristiwa kelam itu akhirnya dituangkan ke dalam kisah Smong yang dituturkan secara lisan. Tetua masyarakat Simeulue meyakini bahwa peristiwa tersebut dapat berulang di kemudian hari.

Meski Smong telah dikenal jauh sebelum peristiwa tsunami 1907, Smong tersebut tidak mampu menyelamatkan mereka dari amukan gelombang dahsyat yang terjadi lebih dari seabad lalu. Perkembangan Smong mulai tertanam dan terkuatkan setelah kejadian tersebut.

Kata Smong berasal dari bahasa Devayan, artinya hempasan gelombang. Penutur bahasa Devayan pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di bagian selatan Pulau Simeulue. Sementara itu terdapat bahasa daerah lain yaitu bahasa Sigulai yang dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di bagian utara pulau tersebut.

Sedangkan masyarakat yang tinggal di Desa Langi dan Lafakha, yang terletak di barat daya Pulau Simeulue, menggunakan bahasa Lekon. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke tiga penutur bahasa daerah tersebut dalam penyebutan Smong. 

Kisah dalam Nafi-nafi

Kisah Smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Nafi-nafi adalah salah satu budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita (story telling) yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu.

Cerita ini mengandung pembelajaran untuk disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak pada waktu-waktu tertentu seperti setelah memanen cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas salat Magrib dan membaca Al-Quran. Kisah yang terdapat di dalam Nafi-nafi sangat bervariasi, dan salah satunya adalah kisah tentang Smong.

Smong di dalam Nafi-nafi berkisah tentang kejadian tsunami pada 1907. Kisah ini menceritakan runut kejadian tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat. 

Salah satu contoh kisah Smong dalam Nafi-nafi sebagai berikut:


“Ini adalah kisah penuh hikmah, pada zaman dahulu kala, tahun tujuh. Para kakek kalian yang mengalaminya. Mereka menceritakan kisah ini, agar menjadi pengalaman hidup. Waktu itu hari Jum'at, masih termasuk pagi hari. Tiba tiba terjadi gempa bumi. Sangking kuatnya, orang-orang tidak dapat berdiri dan setelahnya air laut surut, ikan-ikan menggelepar di pantai sehingga menarik sebagian orang dan mengambilnya.

Tidak lama kemudian tampak gelombang besar dari tengah lautan, menuju ke daratan. Orang tua berteriak ‘Smong! Smong! Smong!’ Namun, banyak orang tidak sempat menyelamatkan diri ke atas gunung. Setelah Smong reda, orang-orang mencoba kembali ke desa dan menemukan banyak penduduk yang meninggal. Banyak korban tersangkut di atas pohon dan bahkan dijumpai pula korban yang terdampar di kaki bukit atau gunung”.

Kisah Smong juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu perlu membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara.

Kisah Smong dalam Nafi-nafi tersebut mengandung pula anjuran untuk mendiseminasikannya kepada generasi selanjutnya.

Penguatan pengetahuan lokal

Pascatsunami 2004, penguatan Smong dilakukan melalui saluran tradisional masyarakat Simeulue lainnya yaitu Nandong dan berbagai upaya lainnya. Nandong adalah seni tradisional masyarakat Kepulauan Simeulue berupa nyanyian. Namun kebanyakan upaya tersebut belum tersistematis dan berkelanjutan.

Penguatan ini lebih didominasi oleh inisiasi dari pihak luar seperti LSM dan lembaga donor dibandingkan dengan kebijakan yang berkelanjutan dari pemerintah daerah.

Pada umumnya inisiasi tersebut terlihat massif pada masa pemulihan dan semakin menurun intensitas dan keberlanjutannya seiring berjalannya waktu. Padahal, gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan pun. Artinya, perlu dipastikan bahwa penguatan harus berkelanjutan sepanjang waktu karena generasi terus berganti. Generasi tua meninggal digantikan oleh generasi yang baru lahir, yang belum pernah menyaksikan peristiwa tsunami secara langsung.

Memperkuat kapasitas pengelolaan kebencanaan yang lebih komprehensif tetap harus dilakukan tanpa melupakan pengetahuan lokal yang telah ada di masyarakat itu sendiri. Diperlukan upaya pencatatan pengetahuan lokal ini dengan mendokumentasikannya sehingga dapat lebih mudah diakses, berkelanjutan, dan bahkan perlu pula diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan.

sumber : theconversation
Share:

Rabu, 26 Desember 2018

Adik Abang ini Selamat Musibah Gempa dan Smong Aceh, Karena Shalat Dhuha

 
Nur Saadi dan Sang Abang, Lutfi Ibrahim
SETIAP orang Aceh pasti memiliki kisah tersendiri saat terjadinya musibah Gempa dan Smong (Tsunami dalam bahasa Jepang) 26 Desember 2004. Baik mereka yang berada di Aceh maupun sedang di luar Aceh. Apalagi mereka yang merasakan langsung dahsyatnya goncangan gempa dan digulung gelobang Smong. Termasuk penulis sendiri.

Namun kali ini saya akan menceritakan kembali kisah seorang sahabat,  Nur Saadi, yang menurut saya sangat penuh hikmah. Mohon izin kepada ustadz Nur Saadi untuk menulis kembali kisah antum di Blog saya ini.

Bismillah

SABTU, 25 Desember 2004, Pukul 23.00, saat itu saya sedang di Asrama Keraton, Banda Aceh.

Setelah sepanjang hari beraktivitas saat berencana pulang hendak istirahat, saya berjumpa abang saya Lutfi Ibrahim. Terjadi obrolan singkat antara kami.

Beliau berkata, “nginap tempat abang aja di ketapang.”

Saya jawab “Besok Saadi harus cepat ke Darusalam bang.”  Saat itu sejak tanggal 25 – 26 Des 2004 sedang berlangsung MUBES LDK IAIN Araniry (sekarang bernama UIN Ar Raniry)

“Besok pagi sekalian keluar sama abang. abang piket pagi, minggu besok.” katanya lagi sedikit memaksa.

Abang kandung saya, Lutfi Ibrahim adalah seorang sipir penjara, yang bertugas di penjara keudah di samping terminal “labi-labi” (angkot) Keudah.  Ahad, 26 Desember 2004 beliau masuk piket jam 8 pagi.

“Oh .. oke bang .. PAS lah. Sekalian berarti Saadi naik labi labi di terminal keudah aja, ke Darusalam.” ujar saya akhirnya. Biasanya saya menuju kampus berjalan kaki dari asrama keraton sampai pertokoan Sinbun Sibreh.

Akhirnya saya pulang dan nginap di rumah abang saya di perumnas Lambheu, Keutapang, Aceh Besar.

Ahad, 26 Desember 2018, pagi itu setelah shalat shubuh di masjid Babul Iman, karena masih ngantuk saya kembali.

Pukul 07. 30 bang Luthfi membangunkan saya dengan sedikit emosi karena saya belum bangun tidur. Sementara beliau harus segera berangkat dinas.

“Abang udah selesai ngopi, kau belum bangun, abang tinggal nanti. Udah tau abang piket!” katanya dengan suara agak tinggi.

Sontak saya langsung bangun dan bergegas masuk ke kamar mandi. Abang saya pun keluar lagi entah kemana. Setelah mandi dan berkemas, ambil menunggu abang

Pukul 08.20, karena abang saya belum pulang, maka sambil menunggu beliau, saya berwudhu dan melaksanakan Shalat Sunnat Dhuha. 2 rakaat pertama sambung Dzikir, semua baik2 saja. Saat masuk 2 rakaat berikutnya, terdengar suara abang saya sangat besar teriak.

“Mana si Saadi masih di kamar mandi dia?  belum siap juga?!!” tanya beliau kesal.

Kakak ipar saya menjawab “Lagi shalat dia bang. Tadi udah tunggu abang, shalat dhuha dulu dia.”

“Ya udahlah kalau sedang shalat, telat abang gara-gara dia.” Bang Lutfhi masih ngomel (hehe.. maafkan dinda abangku)

Saat salam rakaat keempat selesai, saya langsung berdiri nambah 2 rakaat lagi. Karena saya shalat di ruang belakang, abang saya tunggu di teras depan, saya pikir “2 rakaat lagi lah, Biar tuntas 6 rakaat saja.”

Allahu Akbar, Rakaat 6 Dhuha Gempa Pertama Terjadi.

Saya tidak tau itu jam berapa, dalam gempa, saya terus selesaikan shalat dhuha saya. Sangat terasa keras betul goncangan gempa itu. Terdengar abang saya berteriak,

“Keluar semua, keluar..!” memanggil istri dan anak-anaknya.

“Saadi mana?!” tanya Bang Lutfi.

“Masih shalat dia..”  kata istrinya.

Sementara saya berusaha tetap selesaikan hingga salam, 6 rakaat dhuha saya hari itu. Lalu saat hendak keluar gempa kedua pun terjadi. Saya yang masih di dalam rumah, sambil coba menahan barang-barang, kulkas, TV, lemari yang mau jatuh ke lantai akibat kencangnya gempa.

Terdengar suara orang diluar berteriak silih berganti, suara Takbir dan Tahlil terdengar keras dari mulut warga sambil duduk di jalan depan rumah masing-masing.

Setelah sekitar 3 – 4 kali gempa, sepertinya sudah hampir jam 10.

“Kau di rumah aja jangan kemana, abang mau ke kantor dulu. Gak tau ni entah kek mana kantor, semoga gak apa, kita telpon kantor gak ada yang nyambung.” kata abang saya.

Lutfi Ibrahim, Telat Bertugas Sebagai Sipir LP Keudah di Ahad Pagi 26 Desember 2004, karena menunggu Saadi selesai Shalat Dhuha.
Saat itu  warga Lambheu belum mendapat informasi, bahwa setelah gempa besar di susul naiknya air laut sampai ke kota. Abang saya langsung gerak ke penjara keudah dan tidak lama kembali pulang.  Ia bercerita Kalau akses jalan menuju kota di tutup Brimob dan TNI.  Dalam perjalanan abang saya binggung melihat orang-orang panik,  lari ke arah perbukitan Mata Ie. Beberapa masyarakat terlihat mengalami luka-luka.

“Air laut naik…air laut naik..!” teriakan itu sempat didengar abang dalam perjalanan pulang

Malamnya kami berjumpa warga asrama keraton yang mengungsi di masjid Babul Iman. Mendengar cerita apa yang mereka alami hari itu, kami antara percaya tidak percaya karena belum melihat.  Aliran Listrik sempat padam dan jaringan HP putus. Saat aliran listrik normal, baru saya tahu melihat tayangan televisi.  Saya terduduk lemas sambil mulut tak henti ber-istighfar. Astagfirullahal Adzim.

Jaringan komunikasi masih terputus. Keluarga saya di Sigli tidak mendapatkan kabar dari saya. Bermacam pikiran dipikirkan oleh orang tua, keluarga dan saudara di kampung tentang saya. Hingga akhirnya tanggal 1 januari 2005 baru saya dapat saya memberi kabar, bahwa alhamdulillah saya dan keluarga di Banda Aceh semua selamat dan dalam keadaan sehat wal afiat.

Seorang warga Aceh menatap sisa bangunan rumah setelah di hantam Gempa dan Smong Aceh, 26 Desember 2004. (photo. Tribunnews)


Bang Irwandi dan Kak Cut Nur Asikin Alami Gempa dan Tsunami Dalam Penjara

30 Desember 2004, dalam gelap gulita, rasa panik dan takut masih terasa akibat masih terjadi gempa serta isu  adanya gelombang air lalu susulan. Malam itu, sekitar jam 21.30  rumah abang saya kedatangan empat orang tamu berpostur tinggi besar. Mereka memberi salam dan bertanya. (percakapan dalam bahasa Aceh)
“Assalamualaikum, benar ini rumah  Komandan Lupi?”

Tidak lama abang saya keluar menemui tamu itu dan sangat terkejut. Ternyata mereka adalah warga binaan penjara LP Keudah.

“Silahkan duduk. Ya bagaimana? Ada apa?” tanya abang saya masih terkejut dan penasaran.

“Pak Lupi, kami hendak mohon izin. Penjara hancur, banyak korban meninggal. Alhamdulillah kami termasuk yang selamat.” kata mereka.

“Bang Wandi bagaimana kabarnya?” tanya abang saya kemudian, menanyakan kabar Pak Irwandi Yusuf. (Gubernur Aceh sekarang. red)

“Bang Wandi selamat juga, tapi beliau mengalami luka-luka. Namun Kak Nur Asikin sepertinya tidak selamat. Kami semua mengira sudah kiamat pak.’‘ ujar mereka lagi.

“Maksud kami menghadap komandan, kami mohon diizinkan pulang kampung untuk melihat kondisi dan bertemu keluarga. Agar mereka tidak khawatir tentang kabar kami. Kami tidak ingin dianggap melarikan diri pak. Apalagi penjara sudah hancur total,” kata salah seorang diantara mereka.
.........

Ternyata saat peristiwa gempa tsunami, Bapak Irwandi Yusuf sedang menjalani masa tahanan di LP Keudah, sedangkan Kak Cut Nur Asikin sepertinya di LP Lhoknga. Banyak saudara kita para narapidana yang syahid menjadi korban Smong, diantaranya adalah (alm.) Kak Cut Nur Asikin. Allhummaghfirlahum

Almarhumah Kak Cur Nur Asikin dan Bapak Irwandi Yusuf saat menjalani masa tahanan. (photo. Doc. Net)
 Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Semoga seluruh Syuhada Tsunami/ Smong Aceh mendapatkan ampunan dan Kasih Sayang Allah dan menjadi ahlal jannah.  Amiin ya Rabbal Aalamiin

Semoga kisah nyata ini menjadi Ibroh untuk kita semua. Laa Khaula wa La Khuwata Illa biLLah.
Salam hormat saya.

Penulis, Nur Saadi, adalah warga Asrama Keraton, Tokoh Muda Kota Banda Aceh dan Politikus PKS. Pemilu 2019 beliau maju sebagai Caleg DPRK Banda Aceh, Dapil 1 Baiturrahman - Lueng Bata.
Share:

SMONG , Jadikan Kata Daerah Aceh ini Gantikan Istilah "Tsunami" dari Bahasa Jepang

Photo Bencana Gempa dan SMONG yang Melanda Aceh, Ahad 26 Desember 2004 (doc.net)

Istilah Smong dari bahasa Simeulue, Provinsi Aceh, diusulkan menjadi kosa kata baru Indonesia menggantian istilah tsunami yang berasal dari Jepang. Smong berarti "gelombang besar yang menggulung" sangat tepat menggambarkan peristiwa tsunami yang pernah melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
 
Ide tersebut telah lama disampaikan Aktivis Komunitas Siar Smong, Yoppi Smong, dalam acara panggung Seni Budaya Aceh bertajuk " Smong; Sastra Merekam Bencana" di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Infonesia, Jakarta, Jumat (31/10/2014).

Yoppi Smong yang pernah meneliti peristiwa smong  di Simeulue dan dituangkan dalam buku "Smong" menyebutkan, istilah smong ditemukan dalam sastra tutur Nandong yang dituturkan turun temurun dalam masyarakar Simeulue.

Masyarakat Simeulue berhasil menyelamatkan diri dari hantaman smong atau tsunami karena telah memiliki pengetahuan kebencanaan, yang dituturkan dalam sastra Nandong. 

"Apabila datang gempa kuat, disusul laut surut, segeralah cari tempat tinggi. Itulah smong namanya," kataYoppi mengutip penggalan puisi Nandong-Smong. Puisi tersbut aslinya dituturkan dalam bahasa lokal Simeulue.

Pada peristiwa smong atau tsunami Aceh, jumlah korban di Simeulue sangat sedikit, tujuh orang meninggal dunia. Bandingkan dengan jumlah korban jiwa  di daratan pesisir Aceh lainnya mencapai 250 ribu meninggal dunia dan 200 ribu lagi dinyatakan hilang.

Yoppi Smong menyebutkan, smong adalah kearifan lokal Simeulue yang berisi informasi peringatan dini bencana melalui sastra tutur. 

"Jauh sebelum teknologi sistem peringatan dini bencana ditemukan, masyarakat Simeulue telah memiliki pengetahuan kebencanaan yang dituturkan dalam bentuk sastra tutur. Inilah salah satu fungsi sastra," katanya.

Pulau Simeulue pernah dihantam smong atau tsunami pada 1883, 1907, dan 2004. Korban paling banyak jatuh pada peristiwa 1907. Korban yang selamat kemudian menuturkan peristiwa dahsyat itu dalam sastra tutur Nandong. 

"Inilah salah satu alasan kami mengusulkan istilah smong sebagai pengganti tsunami," kata Yoppi.

 Dikutip dari Tribunnews


 
Share:

Terima Kasih Hari ini Anda Pembaca ke:

REPORTER TV