𝐌𝐄𝐃𝐈𝐀 𝐑𝐄𝐏𝐎𝐑𝐓𝐀𝐒𝐄 𝐆𝐋𝐎𝐁𝐀𝐋


🅿🅴🅼🅱🅰🅲🅰

Tampilkan postingan dengan label rohingya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rohingya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 April 2024

KETAHUAN LAGI, WARGA ACEH PENYELUDUP ROHINGYA


 

THE REPORTER - Aceh Barat | Personel Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Barat menangkap empat warga Aceh yang diduga terlibat dalam tindak penyelundupan puluhan imigran etnis Rohingya.

Kapolres Aceh Barat AKBP Andi Kirana di Aceh Barat,menerangkan, keempat tersangka berinisial HI (25), warga Kecamatan Tangan-Tangan Kabupaten Aceh Barat Daya, kemudian tiga lainnya HS (33) M (46) dan E (49) warga Kecamatan Labuhan Haji Timur, Kabupaten Aceh Selatan.

 “"Para pelaku ditangkap di lokasi terpisah, mereka diduga terkait kasus penyeludupan manusia,” kata Kapolres Aceh Barat AKBP Andi Kirana, Selasa (2/4/2024).

Polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti di antaranya, satu unit telepon pintar merek IPhone 11 Promax, satu unit telepon pintar merek Infinix, satu unit telepon selular merek Nokia 105, satu buah buku tabungan BNI atas nama Safarina dengan nomor rekening 1816067360.

Keempat tersangka juga dijerat dengan Pasal 120 Avat (1) dan (2) dan/atau pasal 114 ayat (2) Undang - Undang Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHP, dengan ancaman pidana kurungan penjara paling lama 15 tahun.(*) 

Share:

Minggu, 31 Maret 2024

TIGA JENAZAH PRIA DAN WANITA MENGAPUNG DI PERAIRAN PULO ACEH, WARGA ROHINGYA?

 


THE REPORTER - Banda Aceh | Tiga mayat tanpa identitas ditemukan terapung di perairan Kepulauan Pulo Aceh, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar.
 
Kepala Seksi Operasi dan Siaga SAR Basarnas Banda Aceh M Fathur Rachman mengatakan tiga mayat tanpa identitas tersebut terdiri atas dua laki-laki dan satu perempuan telah dievakuasi Tim Basarnas.
 
"Evakuasi korban berlangsung dalam dua hari terakhir. Usia korban berkisar 35 hingga 40 tahun. Ketiga korban ditemukan terapung di perairan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar," katanya, Minggu, 31 Maret 2024.

M Fathur Rachman menyebutkan proses evakuasi berawal ketika nelayan menemukan mayat mengapung di dua titik. Titik pertama di perairan dekat Gampong Pasi Janeng dan titik kedua di perairan Pantai Lambaro.
 
Penemuan mayat mengapung tersebut, ucap dia, dilaporkan ke Polsek Pulo Aceh, Polres Aceh Besar. Polsek Pulo Aceh menginformasikan ke Basarnas meminta bantuan proses evakuasi.
 
Selanjutnya, tim Basarnas memberangkatkan tim evakuasi menggunakan perahu RIB atau sea rider dari Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Titik evakuasi berjarak 12 nautikal mil.

"Dua jenazah laki-laki dievakuasi pada Minggu dan satu jenazah perempuan dievakuasi pada Sabtu (30 Maret 2024).

Ketiga jenazah tersebut dievakuasi ke Pelabuhan Ulee Lheue dan selanjutnya dibawa ke RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh," terang dia.
 
M Fathur Rachman menyebutkan cuaca saat evakuasi berawan dengan kecepatan angin mencapai delapan knot. Sedangkan ketinggian gelombang berkisar 0,5 hingga 1,5 meter.
 
"Selain personel Basarnas, tim yang terlibat dalam evakuasi tersebut di antaranya personel Polri, PMI Banda Aceh, komunitas radio, dan nelayan. Dengan selesainya evakuasi, maka operasi SAR ditutup dan personel yang terlibat dikembalikan ke satuan masing-masing," ujarnya.
 
Sebelumnya, tim Basarnas juga mengevakuasi mayat perempuan tanpa identitas dengan usia diperkirakan 15 tahun di perairan Pulo Aceh, Jumat, 29 Maret 2024.
 
Selain di perairan Pulo Aceh, tim SAR juga mengevakuasi mayat perempuan tanpa identitas dengan usia diperkirakan 40 tahun di perairan Pulau Weh, Kota Sabang, pada Jumat malam.
 
Belum didapat informasi resmi dari mana mayat tanpa identitas tersebut. Diduga, mayat tanpa identitas yang dievakuasi tersebut imigran etnis Rohingya, yang kapalnya karam di perairan Kabupaten Aceh Barat beberapa waktu lalu.(*)

Share:

Rabu, 27 Maret 2024

DIUSIR WARGA, PENGUNGSI ROHINGYA PINDAH KE KANTOR BUPATI ACEH BARAT

 


THE REPORTER, Aceh Barat | Setelah mendapat penolakan dari warga, akhirnya Pemerintah Kabupaten Aceh Barat memutuskan untuk memindahkan pengungsi Rohingya ke ke gedung dalam area Kompleks Kantor Bupati, di Meulaboh, Selasa (26/03/2024) sore.

“Pemindahan pengungsi Rohingya dilakukan oleh pemerintah daerah setelah berkoordinasi dengan UNCHR dan IOM,” kata Ketua PMI Aceh Barat Junaidi Rasyid.

Sebelumnya sebanyak 75 warga etnis Rohingya mengungsi di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh Barat, di Gampong Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan.

Proses pemindahan puluhan pengungsi etnis Rohingya dilakukan dua tahap.

Diawali dengan pemindahan pengungsi  perempuan, disusul pengungsi laki-laki diangkut menggunakan truk milik Dinas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Aceh Barat. 

Pemindahan dilakukan setelah sebelumnya terjadi aksi penolakan oleh warga Gampong Suak Nie, dengan keberadaan pengungsi Rohingya di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) yang berlokasi di desa mereka.(*)

Share:

Selasa, 26 Maret 2024

ACEH BARAT BERAKSI USIR PENGUNGSI ROHINGYA

 


THE REPORTER, Aceh Barat | Penolakan terhadap kehadiran pengungsi Rohingya ditunjukkan warga Gampong Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, dengan menggelar aksi, Selasa (26/03/2024), di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) yang berlokasi di desa mereka.

Puluhan warga ini mendesak pemerintah daerah memindahkan pengungsi Rohingya dari desa mereka, karena masyarakat merasa tidak nyaman dengan kehadiran para pengungsi.


“Kami mau pengungsi Rohingya dipindah dari desa kami,” kata M Nasir, salah satu warga Desa Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, dikutip dari ANTARA.


Pengalaman selama ini, lanjut M. Nasir, banyak kejadian pengungsi Rohingya yang kabur dari kamp pengungsian pada sejumlah daerah di Aceh.


“Kami juga menagih janji pemerintah daerah yang sebelumnya meminta waktu selama lima hari untuk menempatkan pengungsi Rohingya di desa kami, namun hingga hari keenam, puluhan pengungsi etnis Rohingya masih disini,” lanjutnya.


Sementara itu, Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat, yang juga Teuku Samsul Alam yang juga Penanggungjawab 2 Pengungsi Rohingya meminta kepada masyarakat agar bersabar.

“Pemerintah Kabupaten Aceh Barat saat ini sedang melakukan komunikasi dengan Pemerintah Aceh dan pihak terkait penanganan Rohingya,” jelasnya.

Sebelumnya,  Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menempatkan sementara 69 pengungsi Rohingya korban kapal terbalik di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Desa Suak Nie, Kecamatan Johan Pahlawan, kabupaten setempat.

 


 

“Mereka kita tempatkan sementara di gedung PMI setelah sebelumnya mendapatkan penolakan dari masyarakat di Beureugang, Kecamatan Kaway XVI,” kata Ketua Tim Penanganan Pengungsi Rohingya Kabupaten Aceh Barat, Teuku Samsul Alam kepada wartawan di Meulaboh, Kamis petang.

Ia mengatakan, penempatan para korban kapal terbalik tersebut didasarkan atas rasa kemanusiaan, setelah sebelumnya etnis Rohingya tersebut mengalami musibah di perairan Aceh Barat akibat kapal yang ditumpangi terbalik.

Teuku Samsul Alam menjelaskan penampungan sementara etnis Rohingya tersebut dilakukan dalam waktu sementara dan belum bisa dipastikan jangka waktunya, mengingat saat ini pemerintah daerah masih terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat terkait penanganan pengungsi Rohingya.

“Oleh karena itu, kami (pemerintah daerah) akan menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat dan provinsi,” katanya.

Teuku Samsul Alam mengatakan keberadaan pengungsi etnis Rohingya diupayakan tidak berada lama di Kabupaten Aceh Barat, apakah nantinya akan di bawa ke Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, hal tersebut masih menunggu petunjuk lebih lanjut.

Terhadap penanganan bantuan para pengungsi, kata dia, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat saat ini terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan IOM dan UNHCR, guna memenuhi kebutuhan para etnis Rohingya selama berada di Kabupaten Aceh Barat.

“Kita juga akan buka dapur umum disini, termasuk membuka tenda, menempatkan petugas kesehatan,” kata Samsul Alam.

Ia mengatakan, upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah terhadap para korban, yang sebelumnya diselamatkan setelah kapal yang ditumpangi etnis Rohingya terbalik di perairan Aceh Barat.

“Hal ini kita lakukan sebagai bentuk memuliakan tamu, mereka (pengungsi) juga saudara kita,” demikian Samsul Alam.(*)

Share:

Selasa, 12 Desember 2023

Warga Aceh Tolak Pengungsi Rohingya jadi Sorotan Media Al Jazeera

 


THE REPORTER, Banda Aceh - Penolakan masyarakat Aceh terhadap kedatangan pengungsi muslim Rohingya mendapat sorotan dari media-media internasional.

Kantor berita yang berbasis jazira Arab - Qatar, Al Jazeera misalnya, melaporkan bahwa masyarakat Aceh sebelumnya menerima pengungsi Rohingya ini dengan penuh kehangatan.

Namun ketika gelombang kedatangan terjadi pada pertengahan November 2023, masyarakat Aceh mulai menyuarakan penolakan.

“Masyarakat Aceh di Indonesia sebelumnya menerima pengungsi, ketegangan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kedatangan,” laporan Al Jazeera yang diposting pada Minggu (10/12/2023).

Diketahui, sebanyak 315 orang lebih tiba dalam dua gelombang pada Minggu (10/12/2023) di Aceh.

Satu kapal berisi 135 muslim Rohingya mendarat di kawasan Pantai Kreung Raya, Aceh Besar

Sementara kapal lainnya mendarat di pantai Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Pidie dengan jumlah 180 orang.

Kedatangan ini menambah rentetan jumlah kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh sejak November 2023.
Jika ditotalkan, sudah ada 8 gelombang kedatangan pengungsi Rohingya sejak pertengahan November 2023 di Aceh, dengan jumlah hampir mencapai 2000 pengungsi.

“Kami hanya ingin mencari tempat yang aman,” kata seorang pengungsi kepada Al Jazeera di tempat penampungan sementara di bibir pantai.

“Kami tahu kami mungkin mati di laut, tapi akhirnya kami selamat. Hanya itu yang kami inginkan untuk anak-anak kami,” katanya lagi.

Media itu juga menulis sub judul ‘Pantai yang tidak ramah’ dalam pemberitaan tersebut.

Dalam laporannya, dikatakan bahwa penduduk di Aceh tidak akan menyediakan dana, perbekalan, atau perlindungan bagi pengungsi Rohingya yang datang.
 

“Mereka (penduduk di Aceh) juga tidak ingin mereka (pengungsi Rohingya) tinggal di daerah tersebut,” tulisnya.

Media itu juga mengutip pernyataan Pemerintah daerah di Pidie yang mengatakan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab menyediakan tenda, atau kebutuhan dasar lainnya, atau menanggung biaya apa pun bagi para pengungsi.

Media itu juga mengutip pernyataan warga Aceh, Rijalul Fitri, kepala desa Blang Raya di Aceh.

Mereka tidak ingin pengungsi Rohingya berada di desa mereka.

“Kami begadang semalaman agar tidak mengizinkan mereka berlabuh (dan mendarat), tapi mereka tiba,” katanya.

Fitri bersikukuh para pengungsi harus direlokasi. “Mereka tidak bisa tinggal di sini,” katanya.

Al Jazeera juga menyoroti aksi demonstrasi di Kota Sabang yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya.

“Lebih dari 100 pengunjuk rasa terjadi di Kota Sabang di Aceh, di mana terdapat tempat penampungan sementara, bentrok dengan polisi saat mereka menyerukan agar pengungsi Rohingya direlokasi” tulisnya.


 Fitri mengutarakan kepada media itu bahwa warga Aceh ini orang miskin dan kenapa mereka tidak menggunakan uang perjalanan itu untuk membantu masyarakat Aceh.

“Kami menolak Rohingya,” kata pengunjuk rasa lainnya.

“Kami ingin mereka dipindahkan secepatnya. Kami tidak ingin tertular penyakit yang mereka bawa,” ujarnya.

Sementara itu, Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR), Faisal Rahman, mengatakan organisasi tersebut telah berusaha meyakinkan masyarakat setempat.

“Kami terus menjelaskan situasi ini kepada masyarakat dan memastikan bahwa mereka tidak akan terbebani dengan penanganan pengungsi,” katanya, mengakui bahwa tempat penampungan yang ditunjuk melebihi kapasitas.

Namun pemerintah berupaya menyediakan tempat berlindung karena jumlah pengungsi yang datang sangat tinggi.

PBB mengatakan kondisi sulit dan peningkatan kejahatan di Bangladesh serta memburuknya krisis di Myanmar adalah alasan peningkatan arus pengungsi.

Para ahli memperkirakan lebih banyak kapal akan tiba dalam beberapa bulan mendatang.

“Sekitar 75 persen pendatang baru adalah perempuan dan anak-anak,” Emily Bojovic dari kantor badan pengungsi PBB di Asia Tenggara mengatakan kepada Al Jazeera.


sumber artikel: Serambinews

sumber Photo: CNBCindonesia

 

Share:

Jumat, 01 Desember 2023

Kapolda Aceh Minta Tanggung Jawab UNHCR Soal Pengungsi Rohingya di Aceh

 


THE REPORTER, Banda Aceh - Keberadaan para pengungsi Rohingya di Aceh terus bertambah sejak pertengah November 2023. Namun, kedatangan pengungsi Rohingya ditolak oleh warga dan pemerintah setempat dan menilai jika adanya pengungsi tersebut merupakan tanggung jawab pihak UNHCR atau United Nations High for Commissaris Refugee.

Hal tersebut disampaikan Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko yang meminta lembaga UNHCR ikut bertanggung jawab mengenai pengungsi Rohingnya ini.

"Kita menemukan bahwa Rohingya ini sudah memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh dengan bahasa Bangladesh. Ini artinya apa, ini bukan tanggung jawab pemerintah kita semata tapi UNHCR harus memiliki tanggung jawab kenapa pengungsi itu bisa lolos dari Bangladesh sana," ujar Kapolda Aceh kepada media pada Kamis, 30 November 2023 lalu.


Sebelumnya, Camat Gandapura Bireuen, Azmi juga menyampaikan jika masyarakat Aceh menolak kedatangan pengungsi Rohingya.

“Masyarakat Aceh masih menolak, tetapi kita sudah sediakan makanan dan pakaian dan sudah koordinasi juga dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) terkait kedatangan para imigran Rohingya ini,” kata Azmi pada 19 November 2023.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung para pengungsi dari Myanmar tersebut, karena Indonesia bukan bagian dari Konvensi Pengungsi 1951.

UNHCR sebagai Badan Pengungsi PBB sendiri merupakan organisasi global yang berdedikasi untuk menyelamatkan nyawa, melindungi hak-hak dan membangun masa depan yang lebih baik bagi orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik dan penganiayaan. UNHCR juga memimpin aksi internasional untuk melindungi pengungsi, komunitas yang terpaksa mengungsi, dan orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan.

Selain itu, UNHCR secara resmi dikenal sebagai Kantor Komisaris Tinggi untuk Pengungsi. UNHCR didirikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1950 setelah Perang Dunia Kedua untuk membantu jutaan orang yang kehilangan tempat tinggal. Simak tugas dan fungsi UNHCR berikut.

Tugas dan fungsi UNHCR

- Menanggapi keadaan darurat

Dilansir dari laman UNHCR, dalam waktu 72 jam, UNHCR dapat memobilisasi pasokan untuk 1 juta orang dan mengerahkan staf ahli untuk melindungi orang-orang yang terpaksa mengungsi.

UNHCR berupaya memastikan para pengungsi dapat mencapai keselamatan dan tidak dikembalikan ke situasi yang membahayakan nyawa atau kebebasan mereka. Hal ini merupakan  prinsip inti Konvensi Pengungsi tahun 1951 yang menjadi dasar hukum terbentuknya UNHCR.
- Melindungi Hak Asasi Manusia

UNHCR telah bekerja dengan lebih dari 100 negara untuk menafsirkan dan menerapkan standar hukum guna memastikan pengungsi dapat menggunakan hak-hak mereka.

- Membantu menemukan solusi bagi pengungsi

Selama dekade terakhir, UNHCR telah membantu hampir satu juta pengungsi membangun kembali kehidupan mereka di negara-negara baru, sebagai bagian dari upaya kami untuk menemukan solusi jangka panjang.

- Memberikan rasa aman bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi

UNHCR juga membantu orang-orang yang kehilangan tempat tinggalnya untuk menetap di tempat yang aman, jauh dari konflik atau orang-orang yang mencoba menyakiti mereka, dengan cepat mengirimkan pasokan penyelamat jiwa dan memobilisasi staf ahli untuk melindungi mereka.

Selain itu, UNHCR juga memastikan mereka mendapatkan tempat berlindung, makanan, air, akses terhadap perawatan medis dan bantuan untuk menemukan anggota keluarga yang hilang.

- Membantu jika ada advokasi bagi para pengungsi dan sistem suaka

UNHCR juga memberikan bantuan dan perlindungan yang menyelamatkan nyawa dalam keadaan darurat, mengadvokasi perbaikan undang-undang dan sistem suaka sehingga para pengungsi dapat mengakses hak-hak mereka, dan membantu menemukan solusi jangka panjang sehingga mereka dapat kembali ke rumah setelah selamat atau membangun masa depan dengan cara yang baru. (Tempo.co)

Share:

Rabu, 06 September 2017

Take away Aung San Suu Kyi’s Nobel peace prize. She no longer deserves it

 Aung San Suu Kyi: ‘It is hard to think of any recent political leader by whom such high hopes have been so cruelly betrayed.’ Photograph: Edgar Su/Reuters

Few of us expect much from political leaders: to do otherwise is to invite despair. But to Aung San Suu Kyi we entrusted our hopes. To mention her name was to invoke patience and resilience in the face of suffering, courage and determination in the unyielding struggle for freedom. She was an inspiration to us all.

She has denied the very identity of the people being attacked, asking the US ambassador not to use the term Rohingya
Friends of mine devoted their working lives to the campaign for her release from the many years of detention imposed by the military dictatorship of Myanmar, and for the restoration of democracy. We celebrated when she was awarded the Nobel peace prize in 1991; when she was finally released from house arrest in 2010; and when she won the general election in 2015.

None of this is forgotten. Nor are the many cruelties she suffered, including isolation, physical attacks and the junta’s curtailment of her family life. But it is hard to think of any recent political leader by whom such high hopes have been so cruelly betrayed.

By any standards, the treatment of the Rohingya people, a Muslim minority in Myanmar, is repugnant. By the standards Aung San Suu Kyi came to symbolise, it is grotesque. They have been described by the UN as “the world’s most persecuted minority”, a status that has not changed since she took office.

The Convention on the Prevention and Punishment of Genocide describes five acts, any one of which, when “committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group”, amounts to genocide. With the obvious and often explicit purpose of destroying this group, four of them have been practised more or less continuously by Myanmar’s armed forces since Aung San Suu Kyi became de facto political leader.


Aung San Suu Kyi says 'terrorists' are misinforming world about Myanmar violence

I recognise that the armed forces retain great power in Myanmar, and that Aung San Suu Kyi does not exercise effective control over them. I recognise that the scope of her actions is limited. But, as well as a number of practical and legal measures that she could use directly to restrain these atrocities, she possesses one power in abundance: the power to speak out. Rather than deploying it, her response amounts to a mixture of silence, the denial of well-documented evidence, and the obstruction of humanitarian aid.

I doubt she has read the UN human rights report on the treatment of the Rohingyas, released in February. The crimes it revealed were horrific.

It documents the mass rape of women and girls, some of whom died as a result of the sexual injuries they suffered. It shows how children and adults had their throats slit in front of their families.

It reports the summary executions of teachers, elders and community leaders; helicopter gunships randomly spraying villages with gunfire; people shut in their homes and burnt alive; a woman in labour beaten by soldiers, her baby stamped to death as it was born.

It details the deliberate destruction of crops and the burning of villages to drive entire populations out of their homes; people trying to flee gunned down in their boats.

In response Aung San Suu Kyi has blamed these atrocities, in a chillingly remote interview, on insurgents, and expressed astonishment that anyone would wish to fight the army when the government has done so much for them. Perhaps this astonishment comes easily to someone who has never visited northern Rakhine state, where most of this is happening.Hard as it is to imagine, this campaign of terror has escalated in recent days. Refugees arriving in Bangladesh report widespread massacres. Malnutrition ravages the Rohingya, afflicting 80,000 children.

It is true that some Rohingya people have taken up arms, and that the latest massacres were triggered by the killing of 12 members of the security forces last month, attributed to a group that calls itself the Arakan Rohingya Salvation Army. But the military response has been to attack entire populations, regardless of any possible involvement in the insurgency, and to spread such terror that 120,000 people have been forced to flee in the past fortnight.

In her Nobel lecture, Aung San Suu Kyi remarked: “Wherever suffering is ignored, there will be the seeds of conflict, for suffering degrades and embitters and enrages.” The rage of those Rohingya people who have taken up arms has been used as an excuse to accelerate an existing programme of ethnic cleansing.

She has not only denied the atrocities, attempting to shield the armed forces from criticism; she has also denied the very identity of the people being attacked, asking the US ambassador not to use the term Rohingya. This is in line with the government’s policy of disavowing their existence as an ethnic group, and classifying them – though they have lived in Myanmar for centuries – as interlopers. She has upheld the 1982 Citizenship Law, which denies these people their rights.

When a Rohingya woman provided detailed allegations about her gang rape and associated injuries by Myanmar soldiers, Aung San Suu Kyi’s office posted a banner on its Facebook page reading “Fake Rape”. Given her reputation for micromanagement, it seems unlikely that such action would have been taken without her approval.

Not only has she snubbed and obstructed UN officials who have sought to investigate the treatment of the Rohingya, but her government has prevented aid agencies from distributing food, water and medicines to people displaced or isolated by the violence. Her office has accused aid workers of helping “terrorists”, putting them at risk of attack, further impeding their attempts to help people who face starvation.


Aung San Suu Kyi: Myanmar's great hope fails to live up to expectations
  
So far Aung San Suu Kyi has been insulated by the apologetics of those who refuse to believe she could so radically abandon the principles to which she once appealed. A list of excuses is proffered: that she didn’t want to jeopardise her prospects of election; that she doesn’t want to offer the armed forces a pretext to tighten their grip on power; that she has to keep China happy.

None of them stand up. As a great democracy campaigner once remarked: “It is not power that corrupts, but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it.” Who was this person? Aung San Suu Kyi. But now, whether out of prejudice or out of fear, she denies to others the freedoms she rightly claimed for herself. Her regime excludes – and in some cases seeks to silence – the very activists who helped to ensure her own rights were recognised.

This week, to my own astonishment, I found myself  signing a petition for the revocation of her Nobel peace prize. I believe the Nobel committee should retain responsibility for the prizes it awards, and withdraw them if its laureates later violate the principles for which they were recognised. There are two cases in which this appears to be appropriate. One is Barack Obama, who, bafflingly, was given the prize before he was tested in office. His programme of drone strikes, which slaughtered large numbers of civilians, should disqualify him from this honour. The other is Aung San Suu Kyi.



Share:

ACEHREPORTER.COM

VIDEO LEGEND