THE REPORTER - Hari Raya Idul Adha identik dengan menyembelih hewan kurban berupa sapi, domba atau kambing. Di berbagai daerah, penyembelihan hewan kurban juga dibarengi dengan tradisi masing-masing yang sarat dengan nilai.
Seperti halnya di Desa Krueng Batee, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh, masyarakat menyelimuti dan menudungi hewan kurban dengan kain kafan saat penyembelihan.
Dan juga menyedekahkan beragam perlengkapan mandi hingga payung ke petugas masjid, yang dimasukkan dalam nampan.
“Ini memang sudah turun temurun dari zaman ke zaman yang dilakukan orang tua kita dulu, bagi mereka yang mampu saja, bukan suatu keharusan,” kata Iman Meunasah Desa Krueng Batee, Tgk Salmi di Aceh Barat Daya, Minggu.
Di daerah itu, hewan ternak sapi, domba dan kambing dipayungi dan diselimuti dengan kain kafan saat boyong ke tempat penyembelihan, yakni meunasah atau masjid kecil.
Sebelum itu, hewan kurban tersebut juga telah dimandikan pakai sabun hingga bersih, dan juga dilakukan tradisi peusijuek di rumah pemiliknya.
Kain putih yang menyelimuti hewan tersebut memiliki empat. Masing-masing segi telah diikat uang yang merupakan sedekah sang pemilik hewan untuk petugas penyembelihan.
Pemilik ternak juga menyediakan beragam perlengkapan yang diisi dalam nampan, diserahkan berbarengan dengan hewan kurban. Beberapa di antaranya seperti sikat gigi, sabun, odol, cermin, gunting, kain sarung, mukena, baju, payung dan beberapa lainnya.
Lalu, nampan tersebut disedekahkan kepada petugas penyembelihan, kemudian isinya dibagikan ke pengurus di lingkungan masjid, ketika proses penyembelihan selesai.
Menurut Tgk Salmi, tidak semua masyarakat yang berkurban harus menyelimuti hewan dengan kain kafan atau menyediakan perlengkapan lainnya dalam nampan. Hal ini hanya tradisi turun temurun, yang dilakukan sesuai dengan keikhlasan pemilik hewan, bila memiliki kemampuan.
“Ada juga yang hanya memberi kue saja, atau bahkan tidak mengisi sama sekali, juga tidak masalah. Karena (tradisi) ini bukan sesuatu yang sunnah dilakukan, apalagi wajib sudah pasti bukan, jadi tidak dianjurkan dalam agama,” ujarnya.
Menurut Tgk Salmi, kebiasaan ini tidak diperintahkan dalam hukum islam. Begitu juga dalam adat atau budaya Aceh, hanya saja suatu kebiasaan masyarakat dari zaman dulu, sehingga tetap dilestarikan hingga sekarang.
Tujuannya, menurut dia, masyarakat ingin hewan kurban yang disembelih itu bersih, sehingga memperlakukan layaknya mengurus anggota keluarga yang diniatkan dalam kurban tersebut, baik yang masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
“Kalau berkurban tapi tidak menyediakan ini juga enggak masalah, tidak ada denda atau hukuman. Jadi kalau bilang ini adat gampong maka kalau tidak dilakukan akan kena denda gampong, tapi ini bukan adat, hanya kebiasaan saja,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Krueng Batee Tgk Muktar Ali mengatakan bahwa tradisi tersebut tidak dianjurkan atau diterangkan dalam Al Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat dari zaman dulu, dan tidak menjadi masalah jika tetap dilestarikan masyarakat sebagai kearifan lokal.
“Jadi kenapa memilih kain putih itu, orang tua kita dulu mengibaratkan hewan kurban dengan orang meninggal, sehingga perlu dibalut dengan kain kafan, ditudungi pakai kafan saat penyembelihan juga sebagai pelindung saja,” ujarnya.
Menurut dia, masyarakat dari zaman dulu ingin agar hewan kurban yang disembelih tersebut dalam kondisi bersih, sehingga dirawat dengan baik. Lalu, dibekali sejumlah perlengkapan hingga akhirnya disedekahkan ke masjid.
Kendati demikian, bukan menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk harus melakukan ini, hanya saja sebagai tradisi.
“Dalam hukum Allah tidak disampaikan mandi (hewan kurban) harus dengan sabun, tapi cukup bersih saja. cuma karena masyarakat kita betul-betul sayang maka dimandikan pakai sabun, disikat juga, asalkan jangan sampai rontok bulu kambingnya,” ujarnya.(ANTARA)
0 comments:
Posting Komentar