Minggu, 01 Oktober 2017

Kisah Masjid Kucing, Bapak Kucing dan si Manja "Muezza" Kesayangan Rasul


Pernah gak di antara kita yang merasa kesal ama kucing. Kadang kalo sedang makan di restoran atau rumah makan, kita merasa kesal saat ada kucing yang berisik mengeong sambil mengeluskan badannya ke kaki. Hingga kita merasa geli dan terganggu, lantas mengusirnya,
Terus ada juga yang terganggu  tidur dengan suara kucing berisik di malam hari, ampe mengusir dengan cara melempari.
Hmm...jangan lagi deh...karena hewan imut satu ini, ternyata memiliki sejumlah kemuliaan. 

Di Kota Makkah ada Masjid Kucing. 
Masjid kucing hanyalah sebuah istilah penamaan. Nama sebenarnya adalah masjid Ar-rayah.   Masjid kucing letaknya 750 m sebelah utara Masjidil Haram, namun saat ini masjid yang terletak di ujung Pasar Seng telah di robohkan. Masjid ini diberi nama masjid kucing karena masjid ini punya kisah tersendiri. 
Ketika Rasulullah SAW Sedang melakukan shalat berjamaah bersama sahabat-sahabatnya ,waktu Rasullulah sedang sujud tiba-tiba  ada kucing yang naik di punggungnya. Karena rasullulah itu sangat sayang kepada binatang kucing. Beliau menunggu kucing itu sampai kucing itu turun dari punggung rasullulah SAW.

Kejadian Mistis di Masjid Kucing/ Masjid Rayyah
Dari beberapa kisah, konon katanya di saat terdengar adzan di kumandangakan, kucing-kucing  berkumpul di masjid ini, seakan di panggil oleh suara adzan.
Kisah lain, pada saat musim haji, ada seorang yang ingin shalat di masjid itu, ia terkejut melihat ada kucing yang sedang melaksanakan shalat. Ia langsung kabur meninggalkan masjid dan menceritakan apa yang dia lihat ke orang-orang di sekitar.

Wallahu A’lam Bishawab.
Namun sekarang, jika para jamaah Haji dan Umrah ingin mengunjungi masjid ini, sudah tidak bisa karena masjid ini telah dirobohkan. Dalam beberapa riwayat disebutkan Masjid Kucing ini merupakan rumah sahabat Rasulullah Abu Hurairah.

Kisah Abu Hurairah sang "Bapak Kucing"
Sahabat Rasulullah bernama Abdu Syamsi ibnu Shakhr ini memang dikenal sebagai penyayang kucing. Gelar Abu Hurairah sendiri diberikan langsung oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.  Suatu Saat ketika Sahabat Abu Hurairah bertemu Rasulullah SAW, Beliau bertanya apa yang ada di dalam lengan bajunya.
Ternyata di lengan bajunya terdapat seekor kucing kecil (Hurairah). Sejak saat itu Dia lebih suka dikenali dengan gelaran Abu Hurairah RA. Abu Hurairah, secara harfiah artinya bapaknya kucing. Sebagai penanda hal ini maka di bangunlah sebuah masjid masjid kucing di bekas Rumah Abu Hurairah. 


Muezza si Manja Kesayangan Rasulullah
NABI Muhammad SAW memiliki seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, di kala Nabi hendak mengambil jubahnya, ditemuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, Nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya.

Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan merunduk sujud kepada majikannya. Sebagai balasan, Nabi menyatakan kasih sayangnya dengan mengelus lembut ke badan mungil kucing itu sebanyak 3 kali. Dalam aktivitas lain, setiap kali Nabi menerima tamu di rumahnya, nabi selalu menggendong mueeza dan di taruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang Nabi sukai ialah ia selalu mengeong ketika mendengar adzan, dan seolah-olah suaranya terdengar seperti mengikuti lantunan suara adzan. Kepada para sahabatnya, Nabi berpesan untuk menyayangi kucing peliharaan, layaknya menyanyangi keluarga sendiri.


Hukuman  Orang Yang  Menyakiti Kucing
Dalam sebuah hadist shahih Al Bukhari, dikisahkan tentang seorang wanita yang tidak pernah memberi makan kucingnya, dan tidak pula melepas kucingnya untuk mencari makan sendiri, Nabi Muhammad SAW pun menjelaskan bahwa hukuman bagi wanita ini adalah siksa neraka.

Dari Ibnu Umar ra bahwa rasulullah saw bersabda, “Seorang wanita dimasukkan kedalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan makan bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada di lantai,” (HR. Bukhari).

Nabi juga menekankan di beberapa hadis bahwa kucing itu tidak najis. Bahkan diperbolehkan untuk berwudhu menggunakan air bekas minum kucing karena dianggap suci.


(Dikutip dari berbagai sumber)
Share:

Selasa, 19 September 2017

Belajar Carilah Guru, Berguru Jangan ke Mbah "Gugel" Doank


Google bagaikan sebuah pisau, akan menjadi baik jika dipegang oleh orang baik, pun juga sebaliknya, akan menjadi jelek jika diperuntukkan kepada kejelekan. Yang tak kalah maraknya, Google banyak juga digunakan oleh ustadz-ustadz karbitan, kyai-kyai musiman.

Sebagian kalangan awam juga banyak yang terjebak belajar dari Google yang mana kesalahan didapat karena dia belajar kepada artikel-artikel yang tidak tepat.Seakan-akan, kelompok Islam moderat yang dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah masih kalah ratingnya di dunia maya.

Media tulis menulis via online sebagian dikuasai kaum sempalan wahabi salafi, sehingga banyak orang awam ataupun intelektual juga yang tidak pernah mengaji agama, ia langsung berguru kepada Google.

Oleh karena itu, jangan sampai kita mengaji langsung kepada Google kecuali sudah ditashih oleh guru-guru kita. Guru kita adalah kyai yang bersanad kapada Rasulullah SAW.

Bolehlah menggunakan Google untuk mencari referensi, untuk mencari wawasan dan di sana juga terdapat website-website milik aswaja. Diantaranya adalah Duta Islam, Piss-sktb, aswajanu (search engine), nuonline, alwafa bi’ahdillah, annur2.net, sidogiri.net dan lainnya.

Maka jika kita ingin belajar ilmu agama belajarlah kepada guru, mondoklah. Sekarang pesantren-pesantren juga tersedia jaringan internet wifi, laptop dan fasilitas lain yang mendukung belajar lebih praktis.

Dahulu saya pernah nyantri, pertama di rumah sendiri. Setelah itu, melanjutkan ke Tsanawiyah Al-Falah kelas 3 dan 4. Lalu melanjutkan ke Yaman Darul Musthofa asuhan al Hafidz Al Musnid Habib Umar bin Hafidz yang sanad guru-guru saya sambung sampai Rasulullah SAW.

Dan kadang pun saya juga membuka Google yang website-websitenya, namun yang terpenting, jika tidak tahu riwayatnya itu tsiqoh atau tidak, ditashihkan  kepada guru-guru. Sehingga kita tidak sampai terjerumus kepada keterangan website radikal dan teror, termasuk mengajak segala cara  membunuh kaum muslimin sebagaimana halnya ISIS. Sehebat apapun Google, tidak akan ada barakah yang didapat.

Sumber: dutaislam.com



Share:

Bang, Peluk Adek Donk Sayang.... ( 21+ Only)


"Peluk donk..." duuh...ungkapan ini terdengar indah kalo diperankan dua remaja pacaran di film atau sinetron "murahan". Yaa iyalah...terdengar "indah" karena ada setan yang membisikkan itu indah dan menggoda remaja untuk mencobanya. Saya bilang murahan karena mau aja seorang remaja putri atau wanita di peluk lelaki yang belum tentu jadi suaminya...
So..Kapan pelukan itu Indah? ya kalo udah menikah dan sah jadi pasangan suami istri..baru deh "pacaran halal"..

Nah, ngomong soal pelukan, ternyata buwanyak hikmah dan faedahnya. Saya sih ngutip-ngutip aja dari berbagai sumber untuk jadi pelajaran bagi diri sendiri. Soal anda yang baca mau ambil pelajaran menjadi ilmu dan dipraktekkan,,ya silahkan.
Oke, yuk kita mulai...berpelukaaan.....!!"
............................................................................
Hidup berumahtangga tidak sesimpel yang kita bayangkan. Sebagai seorang suami berkewajiban menafkahi istrinya secara lahir dan batin.
Nah kadangkala kita sebagai suami sering mengabaikan kebutuhan batin istri setiap harinya, dikarenakan suami sibuk mencari nafkah. Dan tidak mungkin pula kita memanjakan istri kita diranjang setiap hari.
Oke, bagi Anda (kaum pria) yang sedang membaca artikel ini, kami sarankan untuk sering-sering memeluk istri minimal satu kali sehari. Mengapa demikian?
Faktanya, pelukan ternyata memiliki khasiat yang luar biasa dalam hubungan pernikahan. Tidak hanya akan ada cinta yang tumbuh lebih kuat, koneksi fisik dan emosional Anda juga akan semakin kuat.
Dilansir dari merdeka.com, ahli percintaan mengatakan bahwa ketika suami memeluk istri, jantung akan berdegup kencang dan kemudian akan terasa hangat secara tiba-tiba di dalam tubuh. Dapat menghilangkan stres juga lho.
Nah, berikut ini kami berikan 7 alasan mengapa suami harus memeluk istri setiap hari.

1. Meningkatkan Keromantisan
Bagi Anda yang memang kuran gmemiliki rasa romantis di dalam diri, Anda bisa melakukan ini. Cukup dengan memeluk istri saja saat akan berangkat kerja, sepulang kerja, atau sebelum tidur.
Ini akan membuat hubungan Anda semakin romantis dan diyakini dapat memecahkan segala macam hambatan dalam rumah tangga.

2. Membantu Komunikasi
Apakah Anda tahu bahwa pelukan ternyata memiliki bahasa komunikasi yang luar biasa? Para ahli  dapat mengklaim bahwa satu pelukan dapat membantu komunikasi non-verbal untuk menggambarkan rasa sayang, terharu, terima kasih, kekesalan, bahkan kemarahan.

3. Membantu Meringankan Beban Istri
Satu pelukan sehari akan memberi begitu banyak kehangatan bagi istri Anda. Jika ingin menunjukkan bahwa Anda peduli, maka peluklah dia. Karena terkadang istri lebih merasa bimbang dan lelah ketimbang suaminya. Satu pelukan saja dapat memenangkannya.

4. Menghilangkan Stres
Memeluk istri terbukti dapat menghilangkan stres. Pasalnya, pelukan kepada istri mampu mengurangi jumlah hormon strss kortisol yang diproduksi dalam tubuh.

5. Meningkatkan Suasana Hati
Ketika istri menerima pelukan Anda, hormon oksitosin akan dilepaskan sehingga membuat sang istri meresa hangat, tenang, dan juga bahagia.

6. Meredakan Emosi
Tak dipungkiri bahwa setiap kehidupan rumah tangga pasti ada cekcok. Satu pelukan saja bisa meluluhkan hati wanita.
Beri dia kehangatan, rasa nyaman, cinta, dan meminta maaf secara tulus. Bandingkan dengan Anda yang hanya meminta maaf kepadanya tanpa melakukan apapun. Mana yang lebih cepat?

7. Jarang Bertengkar
Masih berhubungan dengan poin di atas, pelukan dapat menurunkan energi negatif dan mengembangkan energi positif. Semakin sering pasangan suami istri berpelukan, maka akan semakin sayang dan cinta.
Dua-duanya akan sangat sabar dan mau menerima perbedaan pendapat. Kemudian berpelukan lagi, untuk menyelesaikan masalah.

Ternyata membahagiakan istri sesimpel itu. Mau coba?



Sumber: http://islamidia.com 
Share:

Rabu, 06 September 2017

Take away Aung San Suu Kyi’s Nobel peace prize. She no longer deserves it

 Aung San Suu Kyi: ‘It is hard to think of any recent political leader by whom such high hopes have been so cruelly betrayed.’ Photograph: Edgar Su/Reuters

Few of us expect much from political leaders: to do otherwise is to invite despair. But to Aung San Suu Kyi we entrusted our hopes. To mention her name was to invoke patience and resilience in the face of suffering, courage and determination in the unyielding struggle for freedom. She was an inspiration to us all.

She has denied the very identity of the people being attacked, asking the US ambassador not to use the term Rohingya
Friends of mine devoted their working lives to the campaign for her release from the many years of detention imposed by the military dictatorship of Myanmar, and for the restoration of democracy. We celebrated when she was awarded the Nobel peace prize in 1991; when she was finally released from house arrest in 2010; and when she won the general election in 2015.

None of this is forgotten. Nor are the many cruelties she suffered, including isolation, physical attacks and the junta’s curtailment of her family life. But it is hard to think of any recent political leader by whom such high hopes have been so cruelly betrayed.

By any standards, the treatment of the Rohingya people, a Muslim minority in Myanmar, is repugnant. By the standards Aung San Suu Kyi came to symbolise, it is grotesque. They have been described by the UN as “the world’s most persecuted minority”, a status that has not changed since she took office.

The Convention on the Prevention and Punishment of Genocide describes five acts, any one of which, when “committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group”, amounts to genocide. With the obvious and often explicit purpose of destroying this group, four of them have been practised more or less continuously by Myanmar’s armed forces since Aung San Suu Kyi became de facto political leader.


Aung San Suu Kyi says 'terrorists' are misinforming world about Myanmar violence

I recognise that the armed forces retain great power in Myanmar, and that Aung San Suu Kyi does not exercise effective control over them. I recognise that the scope of her actions is limited. But, as well as a number of practical and legal measures that she could use directly to restrain these atrocities, she possesses one power in abundance: the power to speak out. Rather than deploying it, her response amounts to a mixture of silence, the denial of well-documented evidence, and the obstruction of humanitarian aid.

I doubt she has read the UN human rights report on the treatment of the Rohingyas, released in February. The crimes it revealed were horrific.

It documents the mass rape of women and girls, some of whom died as a result of the sexual injuries they suffered. It shows how children and adults had their throats slit in front of their families.

It reports the summary executions of teachers, elders and community leaders; helicopter gunships randomly spraying villages with gunfire; people shut in their homes and burnt alive; a woman in labour beaten by soldiers, her baby stamped to death as it was born.

It details the deliberate destruction of crops and the burning of villages to drive entire populations out of their homes; people trying to flee gunned down in their boats.

In response Aung San Suu Kyi has blamed these atrocities, in a chillingly remote interview, on insurgents, and expressed astonishment that anyone would wish to fight the army when the government has done so much for them. Perhaps this astonishment comes easily to someone who has never visited northern Rakhine state, where most of this is happening.Hard as it is to imagine, this campaign of terror has escalated in recent days. Refugees arriving in Bangladesh report widespread massacres. Malnutrition ravages the Rohingya, afflicting 80,000 children.

It is true that some Rohingya people have taken up arms, and that the latest massacres were triggered by the killing of 12 members of the security forces last month, attributed to a group that calls itself the Arakan Rohingya Salvation Army. But the military response has been to attack entire populations, regardless of any possible involvement in the insurgency, and to spread such terror that 120,000 people have been forced to flee in the past fortnight.

In her Nobel lecture, Aung San Suu Kyi remarked: “Wherever suffering is ignored, there will be the seeds of conflict, for suffering degrades and embitters and enrages.” The rage of those Rohingya people who have taken up arms has been used as an excuse to accelerate an existing programme of ethnic cleansing.

She has not only denied the atrocities, attempting to shield the armed forces from criticism; she has also denied the very identity of the people being attacked, asking the US ambassador not to use the term Rohingya. This is in line with the government’s policy of disavowing their existence as an ethnic group, and classifying them – though they have lived in Myanmar for centuries – as interlopers. She has upheld the 1982 Citizenship Law, which denies these people their rights.

When a Rohingya woman provided detailed allegations about her gang rape and associated injuries by Myanmar soldiers, Aung San Suu Kyi’s office posted a banner on its Facebook page reading “Fake Rape”. Given her reputation for micromanagement, it seems unlikely that such action would have been taken without her approval.

Not only has she snubbed and obstructed UN officials who have sought to investigate the treatment of the Rohingya, but her government has prevented aid agencies from distributing food, water and medicines to people displaced or isolated by the violence. Her office has accused aid workers of helping “terrorists”, putting them at risk of attack, further impeding their attempts to help people who face starvation.


Aung San Suu Kyi: Myanmar's great hope fails to live up to expectations
  
So far Aung San Suu Kyi has been insulated by the apologetics of those who refuse to believe she could so radically abandon the principles to which she once appealed. A list of excuses is proffered: that she didn’t want to jeopardise her prospects of election; that she doesn’t want to offer the armed forces a pretext to tighten their grip on power; that she has to keep China happy.

None of them stand up. As a great democracy campaigner once remarked: “It is not power that corrupts, but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it.” Who was this person? Aung San Suu Kyi. But now, whether out of prejudice or out of fear, she denies to others the freedoms she rightly claimed for herself. Her regime excludes – and in some cases seeks to silence – the very activists who helped to ensure her own rights were recognised.

This week, to my own astonishment, I found myself  signing a petition for the revocation of her Nobel peace prize. I believe the Nobel committee should retain responsibility for the prizes it awards, and withdraw them if its laureates later violate the principles for which they were recognised. There are two cases in which this appears to be appropriate. One is Barack Obama, who, bafflingly, was given the prize before he was tested in office. His programme of drone strikes, which slaughtered large numbers of civilians, should disqualify him from this honour. The other is Aung San Suu Kyi.



Share:

Terima Kasih Hari ini Anda Pembaca ke:

REPORTER TV