𝐌𝐄𝐃𝐈𝐀 𝐑𝐄𝐏𝐎𝐑𝐓𝐀𝐒𝐄 𝐆𝐋𝐎𝐁𝐀𝐋


🅿🅴🅼🅱🅰🅲🅰

Rabu, 27 Maret 2024

Surat Cinta Ramadhan untuk Dara Bercadar (Cuma Judul)

 


Assalamualaikum Saudaraku Sebangsa dan Setanah Air Indonesia.

Ramadhan ini, saya ingin berbagi kisah dan mungkin sedikit Curhat.

Kami di Aceh, yang melaksanakan Syariat Islam, sejak dulu sangat menjunjung dan menjaga kerukunan antar umat Seagama dan umat Beragama. Dalam soal pakaian, jika ada umat muslim baik warga Aceh maupun luar Aceh yang berkunjung mengenakan pakaian tidak sesuai aturan syariat Islam, maka akan disediakan busana yang layak.

Jika ada remaja muslimah tidak mengenakan jilbab, maka Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah akan memberikan Jilbab secara gratis. Hal ini juga dilakukan jajaran Polri di Polda Aceh. Demikian juga jika mengenakan pakaian ketat, akan dinasehati bahkan diberikan pakaian muslimah jika tersedia. Termasuk kaum pria jika mengenakan celana pendek, akan diberikan kain sarung. Hal ini juga berlaku untuk wisatawan lokal atau mancanegara, akan dihadiahkan selendang penutup kepala. Maka jangan heran, jika ke Aceh Banyak turis luar negeri begiu nyaman mengenakan jilbab atau selendang, yang tentunya terlihat makin anggun dan cantik.

Bagaimana jika ada pengunjung yang tidak nyaman berkerudung? Tidak dipaksakan juga, asal pakaian lain tidak terlihat seksi dan vulgar.

Disisi lain, banyak Muslimah Aceh yang berkerudung dan bercadar, bersahabat akrab dengan warga non muslim, terutama warga keturunan China atau Tionghoa. Kuliah bersama, belanja bareng, hingga ngopi semeja, walaupun terkadang sahabat non muslim tersebut tidak mengenakan jilbab atau kerudung.

Disetiap perayaan umat agama non muslim di Aceh, tidak ada pengawalan petugas keamanan berlebihan sejak puluhan tahun lalu, bahkan di saat konflik Aceh. Umat Nasrani, Hindu dan Budha begitu nyaman beribadah dan merayakan hari besar di Aceh.

Walaupun, terkadang sesekali pernah terjadi gesekan di Aceh terkait isu Agama, namun hanya sebatas kesalahpahaman dan bumbu romantika sebuah kerukunan dan kebhinekaan. Sisanya, cuma isu-isu yang dikembangkan oleh oknum luar Aceh terkait pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dan itu tidak mempengaruhi Hak Keistimewaan yang di miliki Aceh.

Yap, ini lah kami di Aceh, yang begitu damai namun tidak juga merasa sempurna.

Saya tidak akan menyebut kami sangat Toleransi dalam hal Agama dan pakaian. Karena bicara soal Toleransi dan In-Toleran, hanya akan membuat kita terjebak dalam perdebatan dan saling merasa lebih baik, yang berujung pada jurang perpecahan persatuan yang semakin lebar.

Namun saya hanya ingin berpinta, jika kami di Aceh sebagai icon pelaksanaan syariat Islam di Indonesia begitu menghormati dan toleransi dalam hal pelaksanaan ibadah dan pakaian warga non muslim, kenapa di luar Aceh saat ini saudara kami kaum muslimah yang berjilbab dan bercadar mendapat perlakuan menyedihkan. Dicurigai, dipersekusi hingga intimidasi?

Banyak muslimah Indonesia khususnya di Aceh yang sedih dan prihatin atas kondisi ini, namun berusaha sabar dan tabah, menganggapnya sebagai ujian Allah dalam melaksanakan syariat.

Terorisme oleh Oknum dengan Keyakinan Sesat adalah musuh kita bersama. Bom atas jamaah Nasrani, Penganiayaan terhadap Ulama Islam adalah langkah pertama Teroris. Namun target tujuan utama mereka adalah memecah belah persatuan Bangsa ini dengan menanamkan rasa saling curiga dan kebencian antar warga Negara, seperti saat ini.

Artinya, siapapun yang menyebar bibit kecurigaan, kebencian dan menjelekkan satu sama lain, maka dia sedang mendukung suksesnya tujuan Terorisme di Tanah Merah Putih ini.

Wassalam


sumber: status facebook Deddy Ridwan DS 16 May 2018

Share:

MASYA ALLAH, WARGA BINAAN LOMBA ADZAN MERIAHKAN RAMADHAN

 


THE REPORTER, Banda Aceh | Memeriahkan bulan suci Ramadhan 1445 Hijriah, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Banda Aceh menggelar lomba keagamaan, yang diikuti para tahanan warga binaan.

Kepala Subseksi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas IIB Banda Aceh, Mahdi mengatakan, kegiatan ini merupakan agenda rutin yang dilaksanakan setiap bulan Ramadhan.

“Dalam lomba ini tidak semua warga binaan ikut, melainkan melewati seleksi sebelum puasa, dan Ramadhan ini ada 30 peserta yang lolos mengikuti perlombaan keagamaan,” jelas Mahdi.

Tujuan perlombaan tersebut, lanjut Mahdi, selain untuk mengisi dan memeriahkan bulan suci Ramadhan, juga ajang evaluasi warga binaan selama mereka mengikuti pembinaan, khususnya di bidang agama.

"Perlombaan keagamaan ini juga untuk mengasah kemampuan warga binaan terhadap agama Islam. Dan yang terpenting adalah meningkatkan ketaqwaan dan keimanan warga binaan," kata Mahdi.

Perlombaan keagamaan tersebut dipusatkan di Mushalla At Tawwabin Rutan Kelas IIB Banda Aceh di kawasan Kahju, Kabupaten Aceh Besar,

Adapun perlombaan dalam rangka memeriahkan bulan suci Ramadhan di antaranya lomba azan, lomba cerdas cermat, dan lainnya. Puluhan warga binaan tampak antusias mengikuti lomba keagamaan tersebut.

Salahsatu warga binaan peserta perlombaan Juli Arnanda, mengatakan dirinya tertarik mengikuti perlombaan seperti azan dan cerdas cermat karena ingin mengetahui sejauh mana penguasaan keislamannya serta melantunkan azan.

"Ini merupakan kegiatan positif dan juga untuk mengingatkan keimanan kepada Allah SWT. Kami berharap dengan meningkatnya keimanan, menjadikan kami pribadi yang lebih baik lagi," katanya.(*)



 

Share:

TERNYATA ADA CAFE DI ACEH TETAP BUKA SIANG SELAMA BULAN PUASA

 


THE REPORTER, Banda Aceh | Sudah menjadi hal yang diketahui banyak orang, di Aceh, selama bulan Ramadhan, tidak ada yang berjualan makanan minuman di siang hari. Semua restoran, rumah makan, warung kopi dan cafe sejak pagi hingga menjelang waktu berbuka puasa.

Sejumlah cafe di Banda Aceh menyiasati usaha mereka dengan menjadikannya sebagai ruang kerja bersama (coworking space), sehingga tetap bisa berusaha di tengah larangan membuka gerai sejak imsak hingga asar selama Ramadhan.

"Ide tersebut berawal dari melihat fenomena mahasiswa serta pekerja yang kebiasaannya duduk di warung kopi untuk bekerja," kata barista Cafe Rumah Ulu, Febrian, di Banda Aceh, Kamis.

Salah satu cafe yang menggunakan konsep ini adalah Rumah Ulu di Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Mereka menyewakan ruang cafe menjadi ruang kerja bersama mulai pagi pukul 08.00 hingga 16.00 WIB selama bulan Ramadhan.
 
Febrian menyampaikan, di hari biasa kebanyakan mahasiswa dan pekerja melakukan kegiatan di cafe atau warung kopi. Tetapi mereka kehilangan tempat saat bulan Ramadhan karena larangan buka dari Forkopimda.

“Dari situ, kami berpikir untuk menyediakan tempat kerja selama Ramadhan, tetapi tidak bisa pesan makan dan minum,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, Rumah Ulu pertama kali mencoba menyewakan ruang cafe ini pada Ramadhan tahun lalu. Ternyata, banyak yang berminat, sehingga konsep tersebut diteruskan sampai Ramadhan ini.

“Banyak customer yang berterima kasih karena sudah kita sediakan ruang kerja, karena saat bulan puasa di Aceh susah untuk mencari tempat buat kerja, banyak yang tutup. Paling yang bisa digunakan perpustakaan,” katanya.

Setiap harinya, Rumah Ulu rata-rata menerima 3-20 pengunjung yang menyewa coworking space di sana. Pengunjung menggunakannya untuk mengerjakan tugas, bekerja, dan rapat bersama.

“Bahkan, kita juga beberapa kali menerima instansi yang menggunakan coworking space kita untuk rapat dengan kapasitas 50 orang,” kata Febrian.

Untuk menyewa ruang kerja di Rumah Ulu, pengunjung cukup merogoh kocek Rp30 ribu per orang. Kemudian, bisa menikmati fasilitas cafe mulai dari meja dan kursi hingga WiFi sepuasnya dari pagi hingga Asar.

Tidak hanya Rumah Ulu, beberapa cafe di Banda Aceh yang diketahui juga menggunakan konsep serupa saat Ramadhan tahun ini, diantaranya Locative Coffee di Lamreung, Ulee Kareng dan Youngs Coffee di Kampung Mulia.(ANTARA)

Share:

FILM "KIBLAT" MENGHINA AGAMA ISLAM ?? INI TANGGAPAN MUI

 


 

THE REPORTER | Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons adanya pembahasan tentang sejumlah film horor berjudul "Kiblat" yang menggunakan istilah dan/atau unsur Agama Islam dalam judulnya.

 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh menegaskan penggunaan istilah dan simbol keagamaan harus digunakan pada tempat yang pas.

"Prinsipnya, kita harus menggunakan istilah dan/atau simbol agama pada tempatnya yang pas," tegas Niam dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa.

Polemik tentang film tersebut menimbulkan sejumlah pro dan kontra di media sosial, termasuk adanya ajakan boikot yang viral di media sosial Instagram.

Meski demikian Niam menyebut saat ini belum ada pembahasan khusus di internal MUI. Demikian pula soal fatwa terkait penggunaan istilah-istilah agama yang tidak sesuai dengan tempatnya.

"Fatwa ditetapkan setelah ada pendalaman dengan informasi yang utuh," ujar Niam.

Sebelumnya Ketua MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah Muhammad Cholil Nafis sempat mengutarakan pendapatnya soal film yang berjudul "Kiblat" melalui akun media sosial Instagram pribadinya di @cholilnafis.

Diketahui, film tersebut memiliki poster dengan gambar seseorang yang sedang melakukan gerakan ruku dalam shalat, namun wajahnya menghadap ke atas dan bukan ke bawah seperti sewajarnya dalam gerakan shalat.

"Saya tak tahu isi filmnya, maka belum bisa komentar. Tapi gambarnya seram ko’ judulnya Kiblat ya. Saya buka-buka arti Kiblat hanya Ka’bah, arah menghadapnya orang-orang shalat," ungkap Cholil dalam unggahannya (24/3).

Menurutnya, upaya semacam ini kerap dimainkan oleh pebisnis untuk meraup untung, yang tidak dapat dibenarkan.

"Kalo ini benar, sungguh film ini tak pantas diedar dan termasuk kampanye hitam terhadap ajaran agama. Maka film ini harus diturunkan dan tak boleh tayang," tegas Cholil dalam unggahan yang sama.(*)

Share:

ACEHREPORTER.COM

VIDEO LEGEND