Abi Akmal Hanif saat ikut dalam Aksi Damai 212 |
"Kisah ini diceritakan Abi H. Akmal Hanif kepada saya, saat baru kembali dari kunjungan ke Australia beberapa waktu lalu. Beliau menceritakan secara pribadi, namun saya ingin membaginya karena menganggap kisah ini sangat inspiratif. Semoga juga bermanfaat bagi kita semua, Insha Allah.''
Sepulang dari kunjungan ke Sydney - Australia dalam rangka membuka jalur tur wisata dan mengundang donatur pembangunan pesantren enterpreneur, Abi Akmal menginap di rumah pondok santri dalam komplek Dayah Baitul Ihsan Samalanga. Beliau langsung ingin melanjutkan pengajian yang sudah seminggu ditinggalkan. Pagi itu beliau berencana akan menuju Bireun untuk memantau kantor cabang Elhanief Group dan rapat dengan para manager.
Saat sedang bersiap berangkat, ia melihat sekelompok santri putri sedang berkumpul seperti ada sesuatu kejadian. Saat sedikit mendekat, ia melihat seorang santri putri menangis di kelilingi teman-temannya. Karena penasaran, Abi Akmal mencari tahu dan bertanya kepada para santri putri tersebut.
"Ada apa ini, kenapa kok ada yang nangis?" tanyanya membuat para santri yang tadinya sedikit rame menjadi terdiam hening.
Seorang santri memberanikan diri bercerita, bahwa sahabat mereka yang menangis tersebut adalah santri dari Malaysia, yang ingin memperpanjang VISA tinggal untuk melanjutkan pendidikan di dayah.
"Terus masalahnya apa, langsung ke Lhokseumawe dan urus perpanjangan,'' saran Abi Akmal.
Sang Santri lalu menceritakan masalahnya, bahwa izin perpanjangan Visa-nya sudah terlambat satu minggu dan dikenakan denda, sekitar 150 ribu perhari (saya tidak begitu ingat nilai pasti dendanya). Sementara saat ini tidak punya uang dan belum mendapatkan kiriman dari keluarga di Malaysia karena suatu hal. Padahal santri tersebut masih sangat ingin menetap belajar di dayah,
Mendengar cerita si santri, Abi Akmal langsung teringat masa-masa sulit yang pernah di alami saat merantau ke Malaysia. Setiap hari ia bekerja sebagai penjual ikan dan pekerjaan lain dengan penghasilan yang di bagi untuk makan dan biaya hidup, sekaligus ada yang disisihkan sebagai tabungan untuk biaya melanjutkan kuliah ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Ia teringat orang-orang Aceh yang membantunya di Malaysia, seperti Tgk Murtala yang memberinya uang jika tidak ada pekerjaan, juga Kak Farhati yang memberinya makanan saat kelaparan tidak ada uang membeli nasi, hingga memberi tumpangan tempat tinggal.
Tanpa pikir panjang langsung timbul keinginannya untuk membantu santri tersebut, memberikan uang untuk biaya perpanjangan Visa termasuk denda yang sudah mencapai 2 juta lebih. Tapi Abi Akmal baru sadar tidak memegang uang cash karena baru tiba di Aceh. Beliau lalu menanyakan kepada adinya Ratna Abdullah apakah punya simpanan uang. Ratna menyebut ada uang kantor cabang El Zamzam Swalayan cabang Samalanga yang dipegangnya. Abi Akmal langsung meminjam uang tersebut dan meminta Ratna memberikan uang kepada santri seberapa yang dibutuhkan termasuk ongkos ke Lhokseumawe, sambil berpesan untuk segera di urus hari itu juga.
Mendengar cerita si santri, Abi Akmal langsung teringat masa-masa sulit yang pernah di alami saat merantau ke Malaysia. Setiap hari ia bekerja sebagai penjual ikan dan pekerjaan lain dengan penghasilan yang di bagi untuk makan dan biaya hidup, sekaligus ada yang disisihkan sebagai tabungan untuk biaya melanjutkan kuliah ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Ia teringat orang-orang Aceh yang membantunya di Malaysia, seperti Tgk Murtala yang memberinya uang jika tidak ada pekerjaan, juga Kak Farhati yang memberinya makanan saat kelaparan tidak ada uang membeli nasi, hingga memberi tumpangan tempat tinggal.
Tanpa pikir panjang langsung timbul keinginannya untuk membantu santri tersebut, memberikan uang untuk biaya perpanjangan Visa termasuk denda yang sudah mencapai 2 juta lebih. Tapi Abi Akmal baru sadar tidak memegang uang cash karena baru tiba di Aceh. Beliau lalu menanyakan kepada adinya Ratna Abdullah apakah punya simpanan uang. Ratna menyebut ada uang kantor cabang El Zamzam Swalayan cabang Samalanga yang dipegangnya. Abi Akmal langsung meminjam uang tersebut dan meminta Ratna memberikan uang kepada santri seberapa yang dibutuhkan termasuk ongkos ke Lhokseumawe, sambil berpesan untuk segera di urus hari itu juga.
Karena sudah hampir siang, Abi langsung berangkat ke Bireun untuk tugas memantau kantor cabang dan melupakan kejadian pagi tersebut.
Telpon yang tidak di Duga
"Siangnya setelah shalat Dhuhur, saya tiba-tiba dapat telpon dengan kabar bahagia yang tidak saya sangka-sangka, bang..'' kisah Abi Akmal kepada saya.
Seorang rekanan menelpon bahwa ada donatur yang ingin menyumbang untuk pesantren yang sedang dibangun Abi Akmal di Aceh Utara.Sumbangan tersebut berupa hibah 2 unit bangunan rumah dan 10 unit Toilet atau WC dengan nilai hampir ratusan juta rupiah, yang nantinya akan dibangun dalam komplek pesantren Raudhatul Quran. Abi Akmal mengaku terharu sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah atas rejeki yang dianggapnya dari jalan tidak diduga tersebut.
Saat kembali ke dayah beliau menceritakan kabar gembira tersebut kepada Ratna. Sang adik sambil bersyukur berkata,"nyan keuh kadang geubalah lee Allah atra neu seudekah buno beungoh bang,'' (Itulah mungkin balasan Allah atas sedekah abang tadi pagi)
"Hah?! Subhanallah.." Abi Akmal mengaku kaget dan baru sadar tentang kejadian pagi hari yang sudah dilupakannya.
Pembaca yang dimuliakan Allah, kisah ini menjadi hikmah bagi kita, betapa shadaqah yang penuh keikhlasan walau nilainya tidak seberapa namun sangat berarti bagi yang menerima, maka Allah akan membalas berlipat ganda dengan cara-Nya yang tidak kita duga-duga.
Semoga menjadi inspirasi kepada kita semua khususnya saya, agar kita selalu bersadaqah baik dalam kemudahan maupun kesulitan.
Jazakumullah Khairan.