Sabtu, 01 Desember 2018

Kisah Bupati di Antara Penjilat dan Tukang Fitnah

Akhir Tahun 1987 lalu saya pernah bertemu dengan almarhum Pak Nurdin AR, Bupati Pidie pada masa itu. Saya dan beberapa rekan dari lembaga survei Indoconsult Jakarta sengaja datang ke pendopo, setelah membuat perjanjian sebelumnya.

Bukan kali itu saja bertemu almarhum. Sebagai kolega satu almamater, sama tempat bertugas mengajar, saya sering duduk bersama almarhum, berdiskusi banyak hal. Sikapnya yang terbuka, blak-blakan, dan rada nyentrik, sangat menyenangkan.
 
Dalam sebuah seminar, saat peresmian Gedung baru Bank Ekspor-Impor Indonesia (sekarang Bank Mandiri) Banda Aceh yang di Jambo Tape, saya mendengar langsung almarhum pak Ali Hasymi menyebut pak Nurdin AR sebagai bupati "koboy". Alm pak Ibrahim Hasan yang duduk di sampingnya spontan tertawa.

Tiap diskusi dengan almarhum selalu berlangsung menarik, hangat, dan tak ada jarak. Padahal, pada masa itu beliau adalah antara beberapa dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala yang digunakan tenaga dan pemikirannya di jajaran pemerintah daerah. Beliau sudah menjadi pejabat daerah, sementara kami, boleh disebut masih sebagai anak bawang.

Ada beberapa nama dosen lain. Misalnya, alm pak Karimuddin Hasybullah (Bupati Aceh Utara), alm Zein Hasymi, alm Sanusi Wahab (Bupati Aceh Besar), alm Husin Ahmad (Bupati Aceh Barat), Samsunan Mahmud (Bupati Aceh Barat), alm Prof. Dayan Dawood (Kepala Bappeda Aceh), Prof. Syamsuddin Mahmud (Kepala Bappeda dan Gubernur Aceh), Prof. Chairul Ichsan (Kepala Bappeda Aceh), alm T. Iskandar Daoed (Kepala Bappeda Aceh), dan alm Husin Alamsyah (Pembantu Bupati wilayah Simeulue). Yang paling mentereng dan disegani, ya alm Prof. A. Madjid Ibrahim dan alm Prof. Ibrahim Hasan (keduanya pernah sebagai Gubernur Aceh). Yang kedua terakhir ini memang punya nilai kapasitas lebih. Alm pak Madjid malah yang menggagas Aceh Development Board sebagai cikal bakal Bappeda dan Bappenas untuk tingkat Nasional.

Kembali ke alm Nurdin AR. Ketika kami tanyakan bagaimana kiatnya mengelola pemerintahan daerah di Pidie yang dikenal amat tinggi dinamika politiknya? Jawabannya, sangat inspiratif.

Awal beliau menjabat Bupati Pidie, banyak staf dan yang punya jabatan di level menengah datang melapor kepadanya. Yang dilapor, ya macam-macam. Ada yang memburuk-burukkan teman sekantornya. Ada yang menuduh rekannya macam-macam. Dan, tidak sedikit juga yang berperangai suka menjilat, melapor yang indah-indah, dan terkesan ABS, menyanjungnya.

Almarhum Nurdin AR,


Di saat-saat pertama menghadapi staf dan bawahan yang berperangai macam-macam itu, jujur, almarhum mengaku bingung. Seakan beliau tak pernah bisa memahami. Mengapa tidak ada satu pun orang yang benar di jajarannya? Si A bilang si B tidak benar. Si C menuduh si H tidak beres, begitu seterusnya. Itu berlangsung berhari-hari.

Bukan alm Nurdin AR namanya, kalau tidak panjang akal. Dia bertutur, dia keluarkan satu senjata pemungkas. Setelah melakukan "cross check and balance", almarhum bersikap. Setiap ada sosok staf atau bawahannya yang menebar fitnah, menjilat, atau memberi laporan ABS, minggu depan segera dimutasi atau di bangku panjangkan.

Langkah yang dibuatnya itu ternyata menjadi obat mujarab. Sejak itu, perilaku fitnah-fitnahan dan manuver para penjilat mulai berkurang dan tak ada lagi. Kondisi birokrasi berjalan kembali dengan normal. Layanan pemerintahan daerah pun tak mengalami hambatan.
Sambil menggaruk-garuk rambutnya yang rada kribo, dengan rokok digantung di bibirnya, almarhum berujar,

"Ini negeri aneh. Bukannya bekerja, tapi asyik ngoceh sana ngoceh sini. Fitnah sana, fitnah sini. Semua orang salah dimatanya. Yang betul hanya dirinya..."

Saya terbayang, usai itu almarhum tertawa terkekeh-kekeh.
Dan, kami pun ikut juga tertawa bersamanya. Rekan-rekan dari Jakarta terkagum-kagum pula padanya.
Al Faatihah buat Almarhum, Bupati nyentrik yang kini telah tiada.
Tak kan pernah ada lagi yang serupa dengannya.


Penulis
Rustam Effendi
Share:

0 comments:

Terima Kasih Hari ini Anda Pembaca ke:

REPORTER TV